Sampah
Senin, 24 November 2025 09:36 WIB
Penulis:Kusumawati
Editor:Redaksi

JAKARTA (Soloaja.co) – Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF) bersama Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta melaksanakan Uji Publik Hasil Penelitian Nasional tentang Persepsi Masyarakat terhadap Penggolongan Usia Penonton Film pada Platform OTT di Indonesia tahun 2025.
Kegiatan yang diselenggarakan di Hotel Sutasoma pada 17–19 November 2025 ini dihadiri 70 peserta, termasuk 49 perwakilan dari 8 kementerian dan 16 lembaga strategis lintas sektor. Kehadiran berbagai instansi ini menunjukkan urgensi isu klasifikasi usia film yang berdampak luas pada perlindungan anak, pendidikan, hingga tata kelola digital.
Klasifikasi Usia Harus Relevan dengan Era Digital
Ketua Komisi III LSF, Kuat Prihatin, yang membuka kegiatan, menilai bahwa reformasi sistem penggolongan usia di era digital sangat mendesak.
“Platform OTT telah menjadi medium utama masyarakat dalam menonton film. Karena itu, kebijakan klasifikasi usia harus diperbarui agar relevan dengan karakter media digital yang bersifat personal dan lintas batas,” ujar Kuat Prihatin.
Ia menegaskan bahwa perlindungan anak tetap menjadi fondasi utama yang tidak dapat dinegosiasikan dalam pembaruan kebijakan ini.
Hasil Penelitian: Masyarakat Ingin Kategori Lebih Rinci
Seluruh peserta uji publik menerima pemaparan hasil penelitian LSF dan ISI Surakarta yang dilakukan sepanjang tahun 2025. Survei terhadap 1.274 responden di 12 kota besar menemukan bahwa:
* Lebih dari 93% masyarakat memahami penggolongan usia film.
* Namun, mayoritas responden masih menemukan ketidaksesuaian antara label usia dan konten yang ditayangkan di platform OTT.
* Intensitas penggunaan OTT sangat tinggi, dengan 12,4% responden menonton lebih dari empat jam per hari.
Ketua Peneliti ISI Surakarta, Sri Wastiwi Setiawati, S.Sn., M.Sn., memaparkan bahwa masyarakat secara umum mendukung pembaruan kategori usia.
“Sebanyak 63,4% responden menginginkan kategori usia yang lebih rinci, misalnya penambahan 3+, 7+ dan 18+, agar lebih sesuai dengan perkembangan psikologis dan karakter budaya Indonesia,” jelas Sri Wastiwi.
Ia menekankan bahwa pembaruan klasifikasi harus disertai harmonisasi kebijakan antara pemerintah, LSF, dan penyedia platform OTT.
Verifikasi Usia dan Koordinasi Kelembagaan Jadi Sorotan
Diskusi lintas sektor menyoroti pentingnya memperkuat mekanisme pemantauan dan penegakan aturan. Ketua Subkomisi Penelitian LSF, Dr. Zaqia Ramallah, S.Pd., M.Sn., menilai bahwa pembenahan diperlukan pada isu verifikasi usia dan koordinasi kelembagaan.
“OTT harus bertanggung jawab penuh atas keamanan data dan verifikasi pengguna. Struktur pengawasan tidak boleh tumpang tindih. Perlu kejelasan siapa yang menindak, siapa yang mengawasi, dan bagaimana laporan masyarakat diproses,” tegasnya.
Instansi seperti Kementerian Desa, PPPA, Dikdasmen, dan Dikti menyoroti perlunya strategi komunikasi publik yang mampu menjangkau masyarakat luas, termasuk warga desa yang belum terhubung internet. Pendekatan berbasis komunitas dan literasi sejak dini dinilai menjadi kunci keberhasilan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri (GNBSM).
Menutup kegiatan, Ketua LSF RI, Dr. Naswardi, menegaskan bahwa penelitian nasional ini berfungsi sebagai jembatan ilmiah antara aspirasi masyarakat dan kebutuhan penyelarasan kebijakan. “Penelitian ini bukan hanya landasan teknis, tetapi juga bentuk partisipasi publik dalam membangun budaya tonton yang sehat,” tutupnya.
Bagikan