Jangan Anggap Remeh Kesehatan Jiwa, BPJS Kesehatan Jamin Aksesnya Lewat Program JKN

Selasa, 16 September 2025 19:34 WIB

Penulis:Kusumawati

Editor:Redaksi

1000820277.jpg
Media workshop BPJS Kesehatan mengupas tema kesehatan jiwa di RSJD Surakarta (Soloaja)

SOLO (Soloaja.co) - BPJS Kesehatan kembali menegaskan komitmennya untuk memastikan seluruh peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mendapatkan akses layanan kesehatan jiwa yang setara. 

Hal ini disampaikan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti, dalam acara Media Workshop bertema “Layanan Kesehatan Jiwa Hak Seluruh Peserta” di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Dr. Arif Zainudin Surakarta, Selasa 16 September 2025.

“Layanan kesehatan jiwa adalah hak fundamental yang harus dijamin negara. kesehatan jiwa tidak boleh lagi dianggap remeh.” kata Ghufron.

Ia memaparkan, dalam lima tahun terakhir (2020-2024), pemanfaatan layanan kesehatan jiwa di rumah sakit menunjukkan tren peningkatan, dengan total pembiayaan mencapai sekitar Rp6,77 triliun untuk 18,9 juta kasus. Skizofrenia menjadi diagnosis dengan beban biaya dan kasus tertinggi, mencapai Rp3,5 triliun untuk 7,5 juta kasus.

Pada tahun 2024, tercatat sekitar 2,97 juta rujukan kasus jiwa dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ke rumah sakit. Provinsi Jawa Tengah mencatat kasus tertinggi dengan 3,5 juta kasus, diikuti oleh Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara.

“FKTP berperan sebagai pintu utama. Tidak hanya menjadi kontak pertama, tetapi juga mengelola kesinambungan pengobatan, mengkoordinasi layanan, dan memberi pelayanan yang komprehensif,” terang Ghufron.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti saat meninjau layanan di RSJD Dr. Arif Zainudin Surakarta

Untuk mendukung deteksi dini, BPJS Kesehatan menyediakan skrining kesehatan jiwa berbasis Self Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20) yang dapat diakses di situs resminya. Hasil skrining ini akan menjadi dasar untuk pemeriksaan lebih lanjut di FKTP jika terdapat indikasi medis. Selain itu, bagi pasien yang kondisinya sudah stabil, pengobatan dapat dilanjutkan di FKTP melalui Program Rujuk Balik (PRB), yang memungkinkan pengobatan lebih dekat dan efisien.

Stigma dan Urgensi Kesehatan Mental

Psikolog klinis Tara de Thouars menyoroti data dari Kementerian Kesehatan yang menunjukkan 1 dari 10 orang Indonesia mengalami masalah mental, dan 72,4% karyawan juga mengakuinya.

Tara menyebutkan, angka percobaan bunuh diri bahkan mencapai 10 kali lipat dari kasus bunuh diri yang tercatat setiap bulan. Survei Indonesia National Mental Health 2024 juga menunjukkan bahwa 39,4% remaja mengalami masalah mental, dengan peningkatan 20-30% setiap tahunnya.

Ia menjelaskan, tekanan dari media sosial, persaingan kerja, masalah ekonomi, dan fear of missing out (fomo) menjadi pemicu utama. Kondisi ini menghambat fungsi kehidupan sehari-hari, namun sayangnya, stigma negatif masih kuat di masyarakat.

“Orang dengan gangguan jiwa sering dicap lemah atau aib. Stigma ini membuat banyak individu enggan mencari pertolongan,” jelas Tara. Ia mengimbau agar masyarakat berhenti memberi label negatif dan mulai menormalisasi tindakan mencari bantuan profesional seperti menemui psikolog atau psikiater.

Layanan RSJD Surakarta dan Harapan Masa Depan

Plt. Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Dr. Arif Zainudin Surakarta, Wahyu Nur Ambarwati, menyatakan kesiapan pihaknya melayani peserta JKN dengan prinsip humanistik. Lebih dari 90% pasien rawat inap di RSJD Surakarta merupakan peserta JKN, yang menunjukkan betapa pentingnya program ini bagi masyarakat.

"Jumlah pasien rawat inap di sini paling banyak adalah peserta JKN dengan total lebih dari 90 persen, baik yang terdaftar pada segmen PBI maupun non-PBI. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien kesehatan jiwa di Surakarta dan sekitarnya sangat bergantung pada Program JKN untuk mengakses layanan kesehatan," jelas Wahyu.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menekankan bahwa sosialisasi skrining kesehatan jiwa harus lebih digencarkan. Ia berharap, layanan kesehatan jiwa dalam Program JKN terus ditingkatkan, menjadi lebih inklusif, berkesinambungan, dan tidak diskriminatif, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

“Semakin dekat layanan dengan masyarakat, semakin cepat pula gangguan mental dapat ditangani,” tutup Timboel.