Pohon Sala Yang Menjadi Cikal Bakal Nama Kota Solo, Ini Pendapat Ahli Sejarah

Minggu, 14 Agustus 2022 07:16 WIB

Penulis:Kusumawati

Editor:Redaksi

Pohon-Sala-asli-surakarta-yang-tumbuh-di-sekitar-keraton.jpg
Pohon Sala yanga da di halaman Siti Hinggil Pagelaran Keraton Surakarta (Istimewa)

SOLO (Soloaja.co) – Nama kota Solo bisa jadi lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia, bahkan dunia, dari pada kota Surakarta. Benar ada perbedaan antara Solo atau Sala dengan Surakarta. Kalau Surakarta nama resmi secara administratif untuk pemerintahan, sedangkan Solo atau Sala itu desa yang ada di kota Surakarta. Lalu dari mana sebutan Solo itu muncul? 

Ada pendapat yang menyebut bahwa daerah tersebut dinamai Solo karena memiliki banyak pohon Sala. Selain pendekatan taksonomi, perlu pendekatan lain misalnya sosiologis karena nama Sala selain merujuk kepada nama pohon juga kepada seorang tokoh desa perdikan yaitu Kyai Gedhe Sala.

Disampaikan Pengageng Keraton Solo KGPH Adipati Dipokusumo, asal nama Desa Sala masih menjadi perdebatan karena tidak ada literatur yang benar-benar menyebutkan asal mula desa itu.

“Kemungkinan besar nama desa di masa lalu diambil dari tanaman yang menjadi penanda desa. seperti yang umum terjadi di masyarakat Jawa yaitu Sanasewu, Kleca, Karangasem, Mojosongo, Pucangsawit, Kedung Lumbu, Kedawung, dan Semanggi,” kata dia.

Bahkan, menurut dia, tidak mudah untuk memastikan pohon mana yang disebut Sala yang menjadi cikal bakal nama Desa Sala. Bisa jadi yang dimaksud pohon Sala yaitu kepel watu, kleca, sawo kenitu (strapel), dan kuntobima

bunga dan buah pohon sala

Namun, yang diyakini masyarakat Solo sebagai pohon Sala yaitu pohon kepel watu yang berada di Sitihinggil Ler, kompleks Keraton Solo.

Sementara itu, Ketua Forum Pohon Langka Indonesia Tukirin Partomihardjo mengatakan selain dikaitkan nama penguasa lokal Ki Gedhe Sala, pohon Sala bisa ditelisik dari berbagai sisi.

“Tahun 1960, GPH Adiwijaya dalam buku Nawawindu yang bersampul bunga pinus menjelaskan nama Sala merupakan nama pohon. Kemudian pemeluk Buddha saat Mataram Kuno berpendapat nama Sala berasal dari pohon Shal atau Shala yang bernama latin Shorea Robusta,” kata dia.

Sedikitnya, sambung Tukirin, jenis pohon yang terkait dengan nama Sala yaitu Shorea robusta, Couroupita guanensis, Pinus merkusii. Shorea robusta berwujud besar, selalu hijau, tinggi mencapai 40 meter dengan diameter 100 cm. 

Dalam pemahaman Hindu, jenis tersebut dinamakan pohon Sal/Shala/Shaal oleh Dewa Wisnu yang berarti rumah. Di India nama itu sering dikacaukan dengan pohon Ashoka (Saraca indica).

Kemudian Couroupita guianensis merupakan jenis tumbuhan yang cepat besar dengan tinggi mencapai 30 meter dan diameter batang 70 cm. Kepel watu yang berada di kompleks Sitihinggil Lor Keraton Solo merupakan pohon jenis Couroupita guianensis.

“Sementara itu, Pinus merkusii merupakan pohon yang berukuran sedang dengan tinggi mencapai 25-45 meter. Diameter batang 100 cm serta daun berbentuk jarum dalam pasangan. Sebaran jenis ini banyak di Sumatera bagian utara, Kerinci Seblat, dan Gunung Talang,” ujar dia.

Di belakang Pagelaran Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terdapat pohon yang bukan Pinus merkusii dan disebut sebagai pohon sala. Kerindangan daun dan batangnya yang tegak berdiri memayungi bekas pusara Ki Gede Sala. Konon, pohon sala di Sitihinggil ini memiliki bunga berwarna putih. Sayang, pohon tersebut kini tak lagi berbunga.

Lalu, mana pohon sala yang sesungguhnya? Couroupita guianensis dengan bunga merah menyala mirip jengger naga, bunga Shorea robusta berwarna putih, atau bunga Pinus merkusii Jungh et de vriese berwarna cokelat.

Gusti Puger Putra PB XII menyatakan dalam sebuah serat dinyatakan nama Solo berasal dari tumbuhan yang memiliki ciri-ciri kadidine wit pinus. Hal ini menegaskan pohon sala bukanlah Pinus merkusii karena disebutkan sebagai tanaman yang menyerupai pinus.  

Selain berdahan rindang, pohon sala di Sitihinggil ini memiliki buah berwarna cokelat seukuran buah sawo. Buah pohon sala ini mirip dengan tekstur otak manusia. Ciri fisik flora ini sama persis dengan spesies Couroupita guianensis. Demikian pula pohon sala yang tumbuh di halaman Loji Gandrung yang ternyata merupakan anak dari pohon yang berada di Sitihinggil.

“Pihak keraton sangat mendukung upaya Pemerintah Kota Solo kembali menghijaukan kota dengan menanam pohon sala. Selain rindang, pohon bersejarah ini tentunya terus lestari dan tidak punah.” kata Gusti Puger.

Bahkan, Puger yang memindahkan bibit-bibit pohon sala di Sitihinggil yang kemudian diambil oleh warga dan beberapa di antaranya ditanam di Loji Gandrung dan Kampus UNS. Tujuannya masyarakat mengenal pohon sala dan terus melestarikannya hingga Solo tak kehilangan asal-muasal sejarahnya.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Pencemaran Lingkungan FMIPA UNS Solo Prabang Setyono merajut benang merah bahwa nama Solo atau Sala menjadi semesta simbolik, maksudnya ketika ada masyarakat Wonogiri, Boyolali, atau daerah Solo Raya lain yang merantau jika ditanya asalnya maka akan menjawab Solo.

“Artinya kata Solo mempunyai imajiner dan perekat masyarakat. Hal ini menjadi pedoman dan magnet besar. Melihat peta atau administatif, tidak ada nama Solo namun adanya Kota Surakarta,” ujar dia.

Menurut dia, dari pembahasan yang sudah dilaksanakan, ada dua jenis pohon yang merujuk kepada pohon Sala yaitu Shorea robusta dan Couroupita guanensis. Lebih lanjut, penanaman pohon di Ibu Kota Nusantara baru-baru ini, jenis yang ditanam adalah Couroupita guanensis atau kepel watu. Sehingga jenis tersebut akan menjadi memori penyebutan untuk pohon Sala.

“Mau tidak mau ada satu titik simpul, ada dua yang mengerucut yaitu Shorea dan Couroupita. Seandaninya disuruh menyimpulkan, maka memilih yang sudah populer yaitu Couroupita atau kepel watu sebagai pohon Sala. Namun tidak serta merta menyalahkan jenis Sorea, tetapi mana yang populer,” pungkasnya. 

#Dirangkum dari tulisan di Eduwara.com dan berbagai sumber