Diskusi Wedangan IKA UNS Bahas Darurat Zero Tolerance Kekerasan Seksual

Kusumawati - Kamis, 23 Desember 2021 09:28 WIB
Diskusi wedangan IKA UNS seri 89

SOLO (Soloaja.co) - Kekerasan seksual merupakan isu yang saat ini santer diperbincangkan. Data yang dirilis oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada tahun 2021 mencatat bahwa angka kekerasan seksual di Indonesia mengalami penurunan secara jumlah. Namun, angka kasus kekerasan seksual tersebut masih terbilang cukup besar.

Diskusi Wedangan Ikatan Keluarga Alumni Universitas Sebelas Maret (IKA UNS) Seri 89 mengangkat tema 'Zero Tolerance Kekerasan Sexual’. Diskusi yang ditujukan untuk memperingatan Hari Ibu itu digelar secara daring melalui Zoom Cloud Meeting pada Rabu 22 Desember 2021 malam.

Laporan menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat namun juga terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, diskusi wedangan IKA UNS Seri 89 menghadirkan sejumlah narasumber untuk membahas isu tersebut.

Lima narasumber baik dari sivitas akademika Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta maupun lembaga Kota Surakarta hadir di dalam diskusi tersebut. Mereka di antaranya Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti N, M.Si., Dr. Eva Agustinawati, S.Sos., M.Si., Dr. Agus Riewanto, S.H., C.L.A., Ravika Nur Kusumawati, S.Psi., M.A., dan Siti Dariyatini, S.Sos., M.M.

Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan UNS, Prof. Ahmad Yunus mengungkapkan bahwa UNS telah membentuk tim pencegahan tindak kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi. Tim tersebut terdiri dari sejumlah mahasiswa dan dosen UNS.

“Kita sudah mulai membentuk tim pencegahan adanya kekerasan seksual dibawah wakil rektor umum dan SDM,” ungkap Prof. Ahmad Yunus.

Tak hanya tindak kekerasan seksual, Prof. Ahmad Yunus dan jajaran sivitas akademika UNS juga berupaya untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan lainnya dengan membentuk tim pencegahan dan evaluasi. Bahkan beberapa minggu sebelumnya, UNS telah mendeklarasikan kampus anti kekerasan.

Sementara itu, angin segar terkait tindak kekerasan seksual l di lingkungan Perguruan Tinggi juga diperoleh dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Pasalnya, baru-baru ini Kemendikbud ristek telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan tersebut merupakan tindak lanjut dari maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi.

Tak hanya di lingkungan Perguruan Tinggi, kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan masyarakat juga semakin mengkhawatirkan. Tingginya kasus kekerasan seksual tersebut menjadi bukti nyata bahwa Indonesia darurat zero tolerance kasus kekerasan seksual.

Prof. Ismi selaku pakar gender UNS sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNS menyatakan bahwa Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 bisa menjadi landasan kepastian hukum atas tindak kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi. Dengan begitu, harapannya Permendikbudristek ini dapat melahirkan kesadaran mengenai tindak kekerasan seksual.

“Ini kan sebetulnya memberikan landasan kepastian hukum karena tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk memihak kepada korban. Dan seringkali di lapangan, kekerasan seksual itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja. Lumrah dialami oleh perempuan,” jelas Prof. Ismi.

Kepala Pusat Penelitian Kependudukan dan Gender (PPKG) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNS, yaitu Dr. Eva Agustinawati, S.Sos., M.Si menegaskan bahwa pemberantasan tindak kekerasan seksual tidak bisa jika hanya dilakukan oleh satu pihak. Kolaborasi berbagai pihak sangat diperlukan untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual.

“Kita memang harus saling bahu membahu untuk menghilangkan Zero Tolerance terhadap kekerasan seksual,” ungkap Dr. Eva.

Pemberantasan tindak kasus kekerasan seksual tidak hanya dilakukan melalui pendampingan hukum, tetapi juga dengan memberikan edukasi sebagai upaya pencegahan kasus tersebut. Dr. Eva menyebutkan bahwa UNS telah menginisiasi sosialisasi tentang tindak kekerasan seksual, utamanya mengenai relasi gender dan relasi kuasa.

“Karena kekerasan seksual ini adalah kekerasan yang berbasis relasi gender dan relasi kekuasaan sehingga itu perlu kita bangun bagaimana sistem-sistem itu bisa berjalan di kampus,” imbuh Dr. Eva.

Kedepannya, Kepala PPKG LPPM UNS ini ingin menggandeng pihak Rumah Sakit UNS karena dinilai memiliki peranan penting dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Tak hanya Rumah Sakit UNS, Dr. Eva juga mengungkapkan bahwa PPKG LPPM UNS ingin mengajak diskusi Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (UPT PTPA) Kota Sukakarta dalam mendampingi korban kekerasan seksual.

“Dan yang paling penting mahasiswa. Mahasiswa ini menjadi garda terdepan dalam pencegahan dan penanganan kasus-kasus ini. Yang kami inginkan adalah kampus yang aman dan nyaman,” pungkas Dr. Eva.

Saat ini PPKG LPPM UNS telah menginisiasi kerja sama dengan Dr. Agus Riewanto, S.H., C.L.A., selaku Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum (FH) UNS dan Psikolog yaitu Ravika Nur Kusumawati, S.Psi., M.A.

Editor: Redaksi

RELATED NEWS