Kamis, 29 September 2022 19:33 WIB
Penulis:Kusumawati
Editor:Redaksi
JAKARTA (Soloaja.co) – Proses integrasi pertumbuhan hijau ke dalam strategi pembangunan nasional akan menjadi kunci dari pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang Indonesia. Seperti disampaikan UOB Indonesia, yang memperkirakan bahwa produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun ini tumbuh menjadi 4,8 persen dan 5 persen pada 2023 di tengah ketidakpastian ekonomi global yang tengah berlangsung.
Optimisme UOB terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut diungkapkan dalam seminar tahunan UOB Indonesia Economic Outlook bertemakan “Emerging Stronger in Unity and Sustainable”, yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis 29 September 2022.
Presiden Direktur UOB Indonesia, Hendra Gunawan mengatakan di tengah berbagai tantangan serta ketidakpastian global, kami mengapresiasi kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam menavigasi pemulihan ekonomi pasca pandemi. Perekonomian Indonesia terbukti resilien melalui sinergi kebijakan makro ekonomi pemerintah yang telah berhasil membawa negara kita pulih dengan cepat dan berkelanjutan. Seiring dengan peran kami sebagai katalis serta menghadirkan peluang, kami berharap dapat mendukung pemerintah, regulator, investor, dan masyarakat dalam membangun masa depan bersama yang berkelanjutan.
Indonesia telah memperlihatkan kemajuan yang stabil menuju pemulihan ekonomi yang lebih tangguh setelah PDB berkontraksi sebesar 2 persen selama pandemi tahun 2020. Namun, Indonesia tengah menghadapi risiko-risiko seperti lesunya pertumbuhan global, volatilitas keuangan global, pengetatan kebijakan makroekonomi, serta memanasnya ketegangan geopolitik. Akan tetapi, UOB Indonesia memprediksi bahwa perekonomian Indonesia akan tetap tangguh pada tahun 2023 didukung konsumsi domestik yang kuat dan kenaikan ekspor komoditas, kata dia.
UOB Economist, Enrico Tanuwidjaja mengatakan, perubahan iklim menjadi masalah paling mendesak yang tengah dihadapi dunia, termasuk Indonesia. Pada saat yang bersamaan, secara global kita tengah dihadapkan pada tantangan terkait permintaan energi, kelangkaan pangan, serta masalah kesehatan global. Negara-negara maju dan berkembang juga terus bekerja sama dalam mengadopsi kebijakan rendah karbon dan ketahanan iklim. Indonesia harus terus mendukung keberlanjutan dan juga mengelola belanja dan investasinya untuk memastikan pemulihan yang tangguh.
Data Asia Development Bank menunjukkan bahwa permintaan energi di Asia akan melonjak dua kali lipat pada tahun 2030[1]. Saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) yang meliputi 67 persen dari bauran pembangkit energi nasional. Akan tetapi, tren tersebut kemungkinan akan melambat karena pemerintah Indonesia secara resmi telah melarang pengembangan PLTU baru dan memprioritaskan pembangunan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan.
Penyediaan energi hijau berperan sangat penting karena memiliki korelasi yang sangat positif dengan pertumbuhan. Kebijakan tersebut juga akan mengukuhkan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030 dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060.
“Agar bangkit menjadi lebih kuat, kita perlu bersinergi mengatasi tantangan perubahan iklim dan krisis energi. Kami berharap melalui Presidensi Indonesia pada G20 tahun ini, negara-negara di seluruh dunia akan memanfaatkan kekuatan dan kepiawaian mereka dalam mendorong ekonomi hijau,” ungkap Enrico.
Seminar tersebut dibuka oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, dengan sambutan khusus. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto turut hadir, sedangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keynote speech. Lebih dari 3.000 peserta menghadiri acara tahunan UOB Indonesia tersebut.
Bagikan