Kesehatan mental
Selasa, 04 November 2025 23:11 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah

JAKARTA - Depresi, stres berat, dan munculnya pikiran untuk mengakhiri hidup bukan hanya persoalan psikologis semata. Di balik kondisi tersebut, terdapat perubahan biologis dan kimiawi nyata yang terjadi di otak manusia. Para ilmuwan menjelaskan bahwa perubahan ini dapat memengaruhi cara otak bekerja, berkomunikasi, serta merespons emosi dan tekanan.
Depresi bukan sekadar rasa sedih, melainkan gangguan medis serius yang berkaitan dengan ketidakseimbangan zat kimia di otak. Tiga neurotransmitter utama yang berperan adalah serotonin, norepinefrin, dan dopamin.
Kadar serotonin yang rendah dapat memicu gangguan suasana hati, kekurangan norepinefrin membuat tubuh terasa lemas dan sulit berkonsentrasi, sementara rendahnya dopamin menyebabkan hilangnya motivasi dan ketidakmampuan untuk merasakan kebahagiaan.
Perubahan juga tampak secara struktural. Prefrontal cortex (PFC), bagian otak yang mengatur keputusan dan emosi, menjadi kurang aktif. Hippocampus yang berfungsi mengatur memori dan emosi bisa mengecil akibat paparan hormon stres (kortisol) yang tinggi. Sementara amygdala, pusat ketakutan dan kecemasan, justru menjadi lebih aktif, membuat seseorang terus merasa gelisah dan cemas.
Penelitian terbaru juga menemukan adanya peradangan di otak (neuroinflamasi) yang dapat mengganggu produksi neurotransmitter dan memperburuk gejala depresi.
Baca juga : LinkUMKM BRI Tembus 13,6 Juta Pengguna, Dorong UMKM Naik Kelas Lewat Pelatihan Digital
Stres sebenarnya adalah mekanisme alami tubuh untuk bertahan. Namun, jika terjadi terus-menerus, stres justru bisa merusak otak. Ketika stres, sistem Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) axis diaktifkan dan menghasilkan hormon kortisol.
Jika kadar kortisol tinggi dalam waktu lama, dampaknya serius, hippocampus dapat mengecil, PFC melemah, dan amygdala menjadi hiperaktif. Inilah sebabnya orang yang mengalami stres berat sering sulit berpikir jernih, mudah panik, dan merasa kewalahan menghadapi hidup.
Pikiran untuk mengakhiri hidup biasanya muncul ketika rasa sakit psikologis sudah sangat berat. Dalam kondisi ini, otak menunjukkan pola yang berbeda dari depresi biasa.
Prefrontal cortex (PFC) bagian ventromedial (vmPFC) dan dorsolateral (dlPFC) mengalami gangguan fungsi. Akibatnya, seseorang kesulitan menilai risiko dan cenderung berpikir impulsif tanpa mempertimbangkan konsekuensi.
Gangguan juga terjadi pada sistem penghargaan (reward system) yang melibatkan dopamin. Ketika sistem ini melemah, semua hal terasa hambar dan tak lagi memberikan rasa senang.
Selain itu, kombinasi amygdala hiperaktif dan PFC yang lemah menciptakan situasi berbahaya. Otak kehilangan kemampuan mengendalikan dorongan emosional, sehingga seseorang bisa bertindak ekstrem dalam waktu singkat.
Baca juga : Mengembangkan Dorongan Bertahan Hidup? AI Menolak Permintaan Mematikan Diri
Kabar baiknya, perubahan ini bisa dibalik. Otak manusia memiliki kemampuan luar biasa yang disebut neuroplastisitas, kemampuan untuk memperbaiki diri.
Dengan pengobatan dan dukungan yang tepat seperti terapi psikologis (CBT), obat antidepresan, serta gaya hidup sehat (tidur cukup, olahraga, dan nutrisi seimbang), struktur dan fungsi otak bisa membaik.
Yang paling penting, depresi dan pikiran bunuh diri bukan kelemahan pribadi. Ini adalah kondisi medis yang memerlukan perawatan profesional. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalaminya, segera cari bantuan.
Bila anda mengalami kondisi berat, anda tidak sendirian. Rasa sakit itu nyata, tetapi begitu juga harapan dan kesempatan untuk sembuh.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 04 Nov 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 04 Nov 2025
Bagikan
Kesehatan mental
25 hari yang lalu
Olahraga
sebulan yang lalu
Kerja
sebulan yang lalu