Petani, Buruh, dan Akademisi Kritik RPMK Soal Kemasan Polos Rokok

Kamis, 14 November 2024 20:08 WIB

Penulis:Kusumawati

Editor:Redaksi

IMG-20241114-WA0028.jpg
Ruang Rembug membahas soal dampak polemik regulasi nasional soal tembakau di Jateng (Soloaja.co)

SOLO (Soloaja.co) - Sejumlah pihak dari kalangan petani, buruh, hingga akademisi menyuarakan kekhawatiran terkait Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang salah satu pasalnya mengatur produksi rokok dalam kemasan polos. Mereka menyatakan bahwa regulasi tersebut dapat berdampak buruk bagi ekosistem pertembakauan, khususnya di Jawa Tengah.

Isu ini menjadi pembahasan dalam acara Ruang Rembug bertema "Dampak Polemik Regulasi Nasional Terhadap Ekosistem Pertembakauan Jawa Tengah" yang diadakan di Kulonuwun Kopi, pada Kamis 14 November 2024.

Diskusi ini dihadiri oleh sejumlah tokoh, konsumen, seniman, komunitas, termasuk Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jateng Nanang Teguh Sambodo, Wakil Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) SPSI Andreas Hua, Pengamat Kebijakan Publik Dwijo Suyono, dan Pengamat Ekonomi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Malik Cahyadin.

Nanang menyampaikan bahwa para petani tembakau sudah mulai merasakan dampak negatif meski peraturan ini belum diterapkan secara resmi. Menurutnya, industri tembakau telah mulai membatasi pembelian dari petani, yang mengakibatkan berkurangnya pasar tembakau lokal.

“Sekarang sudah ada pembatasan. Industri mencermati peraturan tersebut. Dulu berani menyimpan stok, sekarang tidak. Kebutuhan di pasar semakin sedikit,” ujar Nanang.

Andreas Hua dari FSP RTMM juga menyuarakan kekhawatirannya. Ia memperkirakan bahwa kebijakan kemasan polos akan memperberat tantangan industri rokok, yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan para pekerja. Dengan margin perusahaan yang menipis, perusahaan cenderung mengurangi biaya tenaga kerja untuk bertahan.

“Kalau margin perusahaan makin kecil, otomatis biayanya makin ditekan. Biasanya yang menjadi sasaran utama adalah tenaga kerja. Upah setiap tahun naik,” jelasnya.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik Dwijo Suyono menilai ekosistem pertembakauan seharusnya tidak ditekan terus-menerus, mengingat kontribusinya yang besar terhadap pendapatan negara. Industri rokok, menurutnya, telah menyumbang pajak yang signifikan bagi APBN.

“Pajak rokok pada tahun 2023 mencapai 213,48 triliun rupiah, hampir 10 persen dari total APBN yang berkisar 2 ribu triliun. Namun, industri ini justru terus ditekan dengan berbagai peraturan,” kata Dwijo.

Acara ini menggarisbawahi keprihatinan para pelaku industri tembakau terhadap regulasi yang mereka nilai dapat melemahkan sektor pertembakauan di Jawa Tengah, serta mengancam kesejahteraan petani dan pekerja di industri ini.