Selasa, 16 Agustus 2022 16:06 WIB
Penulis:Redaksi
JAKARTA— Fluktuasi harga pangan dan kebutuhan pokok berimbas langsung pada aktivitas perdagangan di pasar tradisional.
Lonjakan harga menurunkan daya beli masyarakat sehingga berpengaruh terhadap pendapatan pedagang. Banyak pedagang pasar yang mengeluhkan kondisi ini terlebih di masa transisi pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Chief Economist BRI Danareksa Sekuritas sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Telisa Aulia Falianty mengatakan penurunan daya beli akibat kenaikan harga yang terjadi saat ini mempengaruhi omzet pedagang di pasar tradisional.
“Penurunan daya beli tentu mempengaruhi omzet pedagang. Tidak hanya itu, isu pengenaan PPN 11% pada sembako juga sempat menjadi sentimen negatif, ditambah lagi daya beli masyarakat yang belum terlalu pulih pasca pandemi,” kata Telisa.
Kenaikan harga pangan saat ini didorong oleh lonjakan harga berbagai komoditas yang menjadi bahan baku utamanya. Kenaikan harga ini menyulitkan konsumen sehingga mereka mengurangi pembelian. Kenaikan harga pangan dan barang pokok ini juga berkontribusi terhadap kenaikan inflasi di luar situasi global yang tidak stabil dalam beberapa bulan terakhir.
Badan Pusat Statistik mencatat pada Juni 2022 terjadi inflasi sebesar 4,35 persen (year-on-year) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 111,09.
Inflasi ini terjadi utamanya karena adanya kenaikan harga dengan kontribusi terbesar berasal dari indeks kelompok makanan, minuman, dan tembakau, yakni sebesar 1,77 persen.
Adapun seluruh indeks kelompok pengeluaran lainnya berkontribusi rata-rata di bawah satu persen.
Menurut Telisa, dampak kenaikan harga kebutuhan pokok dirasakan oleh berbagai pihak baik pelaku di pasar modern maupun pasar tradisional, khususnya masyarakat menengah ke bawah.
"Pemerintah telah menggelontorkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun selain itu, upah riil juga perlu terus dijaga agar geliat di pasar tetap muncul dan dapat menopang ekonomi masyarakat dengan baik," ungkap Telisa.
Telisa mengatakan untuk mengatasi situasi ekonomi pasar yang tidak stabil perlu adanya sinergi baik dari pemerintah pusat dan daerah, terlebih dalam perluasan dan peningkatan program revitalisasi pasar.
“Selain itu pemerintah juga dapat memberikan subsidi agar terjadi peningkatan kualitas produk di pasar, sehingga masyarakat juga dapat berbelanja dengan nyaman,” katanya.
Dia juga menyarankan program digitalisasi pasar agar pasar tradisional dapat beradaptasi dengan zaman.
“Untuk memudahkan pedagang pasar agar dapat bertahan di segala situasi ekonomi diperlukan regulasi-regulasi yang memudahkan seperti CSR bagi pelaku usaha terkait dengan pasar tradisional, pemberian insentif dan keringanan bagi penerapan pajak untuk produk yang dijual, memberikan kemudahan akses sistem pembayaran bagi pedagang dan pembeli, serta regulasi perlindungan bagi seluruh pedagang pasar yang kondusif tidak hanya di pusat namun juga di daerah," ucapnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Mujiburrohman juga mengungkapkan bahwa pedagang pasar masih belum sepenuhnya pulih dari keterpurukan akibat pandemi COVID-19.
“Banyak pedagang pasar yang mengeluh omzetnya menurun. Oleh karena itu, saya berharap bahwa daya beli masyarakat akan cepat pulih,” katanya.
Mujiburrohman menjelaskan dampak nyata dari kerugian yang dirasakan oleh pedagang pasar adalah adanya kesulitan untuk membayar biaya operasional karena kenaikan harga, utamanya harga barang-barang yang menjadi sumber pendapatan tetinggi dan perputaran uang terbanyak bagi para pedagang pasar, dan penurunan omzet penjualan.
Banyak pedagang pasar yang mengeluhkan ke dirinya atas hal tersebut dan berharap bahwa situasi dan kondisi akan segera membaik.
"Pedagang pasar belum punya alternatif lain untuk mengatasi permasalahan omzet. Semua kembali ke pemerintah yang harus menjadi agregator untuk memfasilitasi pedagang pasar melalui kebijakan yang sesuai agar kondisi ekonomi pedagang pasar bisa kembali pulih," tutup Mujiburrohman.
Bagikan