Selasa, 12 Oktober 2021 07:16 WIB
Penulis:Kusumawati
Editor:Redaksi
JAKARTA - Dalam penutupan perdagangan pekan lalu, harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) tercatat menyentuh level tertingginya sepanjang masa, yaitu di level 4.966 ringgit Malaysia per ton.
Secara mingguan, harga ini meningkat 10,2% dibandingkan dengan harga penutupan akhir pekan lalu di angka 4.505 ringgit Malaysia per ton. Harga CPO ini tercatat meroket 37,9% sejak awal tahun (year-to-date/ytd) dengan peningkatan selama sebulan terakhir sebesar 8,1%.
Jika dilihat secara tahunan, harga CPO bahkan meningkat sekitar 75% point-to-point. Pada periode yang sama tahun lalu, harga CPO berada di level 2.834 ringgit Malaysia per ton.
Tingginya harga CPO ini tentu akan ikut menambah pundi-pundi kekayaan konglomerat yang memiliki bisnis perkebunan sawit di Indonesia.
Dilansir dari TrenAsia.com grup jejaring Soloaja.co , ini 7 grup konglomerasi yang akan ikut mendapat berkah dari tingginya harga komoditas ini.
Berikut adalah konglomerasi pemilik perkebunan sawit di Indonesia:
1. Grup Astra
Gurita bisnis PT Astra International Tbk (ASII) yang tersebar mulai dari otomotif hingga pertambangan juga memiliki bisnis perkebunan sawit. Astra berbisnis perkebunan sawit lewat anak usahanya PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).
Hingga semester I-2021, Astra Agro Lestari mencatatkan kinerja positif baik di pos pendapatan maupun di pos laba bersih. AALI mencatat pertumbuhan pendapatan sebesar 19,28% menjadi Rp10,83 triliun dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp9,08 triliun.
Pertumbuhan pendapatan ini pun diikuti oleh pertumbuhan laba bersih. AALI membukukan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp649,34 miliar pada semester I-2021, meningkat 66% dari catatan semester I-2020 yang sebesar Rp391,9 miliar.
2. Grup Bakrie
Grup Bakrie juga memiliki bisnis perkebunan lewat PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP). Sayangnya, UNSP masih mencatatkan rugi pada semester I-2021 meski mencatatkan peningkatan pendapatan.
Mengutip laporan keuangan interim, UNSP mencatatkan pendapatan sebesar Rp1,77 triliun hingga 30 Juni 2021. Jumlah ini meningkat 56% dibandingkan dengan pendapatan sebelumnya yang sebesar Rp1,14 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Meski begitu setelah dikurangi beban-beban lain, UNSP harus mencatat rugi bersih kepada pemilik entitas induk sebesar Rp238,25 miliar. Rugi ini berhasil ditekan 38% dari catatan semester I-2020 sebesar Rp386,5 miliar.
3. Grup Triputra
Grup Triputra yang dimiliki oleh konglomerat Theodore Permadi Rachmat ini memiliki dua emiten yang bergerak di bidang perkebunan sawit, yaitu PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) dan PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG).
PT Triputra Investindo Arya tercatat memiliki 22,9% saham TAPG. Dalam TAPG, Triputra menjadi pengendali bersama PT Persada Capital Investama milik Arini Subianto dan PT Daya Adicipta Mustika.
Sementara itu, PT Triputra Investindo Arya juga tercatat memiliki kepemilikan saham 27,63% di DSNG. Triputra menjadi entitas dengan kepemilikan saham terbesar di DSNG.
Hingga semester I-2021, baik TAPG dan DSNG mencatatkan kinerja positif. TAPG mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 250,91% menjadi Rp405,89 miliar dari pendapatan semester I-2020 yang sebesar Rp115,66 miliar.
Lalu, DSNG mencatatkan laba bersih sebesar Rp207,5 miliar pada semester I-2021. Jumlah ini meningkat 14,2% dari Rp181,74 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
4. Rajawali Group
Rajawali Group milik konglomerat Peter Sondakh juga memiliki emiten sawit bernama PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT). Emiten perkebunan ini awalnya memiliki nama PT BW Plantations Tbk dan berubah menjadi nama sekarang pada 2015 ketika Rajawali masuk menjadi pemegang saham.
Pada semester I-2021, BWPT mencatatkan pendapatan sebesar Rp1,35 triliun. Pendapatan ini meningkat 11,28% jika dibandingkan dengan pendapatan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1,21 triliun.
Meski pendapatan meningkat, BWPT masih masih membukukan rugi bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp1,65 triliun. Rugi ini bahkan membengkak 277,14% dari catatan semester I-2020 yang sebesar Rp437,5 miliar.
5. Grup Sampoerna
Tidak hanya tembakau, Grup Sampoerna juga berkecimpung dalam bisnis perkebunan sawit. Bisnis perkebunan sawit milik Sampoerna ini memiliki nama PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO). SGRO tercatat memiliki perkebunan di Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Riau.
Pada semester I-2021, pendapatan SGRO meningkat 66% menjadi Rp2,66 triliun dari sebelumnya Rp1,60 triliun pada semester I-2020. Laba bersih perusahaan pun meroket menjadi Rp386,86 miliar, naik jauh dari laba semester I-2020 yang “hanya” Rp971 juta.
6. Grup Salim
Grup Salim tercatat memiliki dua emiten perkebunan sawit, yaitu PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) atau Lonsum. Secara struktur, SIMP berada di bawah PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan LSIP di bawah SIMP.
Meski sama-sama bergerak di bidang sawit, SIMP atau Ivomas lebih berfokus dalam proses peningkatan nilai tambah produk agribisnis dan pemasaran produk minyak goreng. Pada semester I-2021, Ivomas berbalik laba sebesar Rp219 miliar dari sebelumnya rugi Rp300,81 miliar pada semester I-2020.
Selanjutnya, Lonsum lebih bergerak di bidang perkebunan sawit dan karet. Pada semester I-2021, laba bersih LSIP tercatat terbang 445% menjadi Rp501,22 miliar. Padahal, LSIP sebelumnya hanya mencatat laba sebesar Rp91,99 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
7. Grup Sinarmas
Grup Sinarmas milik keluarga Widjaja ini memiliki lini bisnis sawit lewat Golden Agri Resources Ltd (GAR) yang didaftarkan di Bursa Efek Singapura. Di Indonesia, GAR memiliki anak usaha PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR).
SMAR mencatatkan perbaikan laba bersih dengan peningkatan luar biasa pada semester I-2021. Laba bersih SMAR terbang 9.920% menjadi Rp1 triliun dalam periode ini, meningkat dari laba bersih semester I-2020 yang hanya sebesar Rp10,77 miliar.
Mirae Asset Sekuritas Indonesia memprediksi harga CPO ini akan tetap tinggi hingga kuartal I-2022. Ada tiga faktor yang akan membuat harga tersebut tetap tinggi.
Pertama, produksi CPO bulanan di Malaysia yang mencapai puncaknya pada September-Oktober ini. Setelah itu, produksi CPO diperkirakan turun. Produksi yang turun ini akan mengurangi jumlah inventori CPO dan mengerek hingga kuartal I-2022.
“Produksi bulanan CPO Malaysia itu cyclical, biasanya puncak di September atau Oktober dan setelah itu trennya turun. Trennya itu begitu setiap tahun,” ujar Hariyanto dalam webinar Indonesia Investment Education, dikutip Senin, 11 Oktober 2021.
Kedua, Hariyanto memprediksi adanya potensi peningkatan permintaan dari dua negara konsumen CPO terbesar di dunia yang inventorinya saat ini sedang rendah, yaitu China dan India. Ketiga, adanya potensi peningkatan konsumsi CPO dari dalam negeri.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Reza Pahlevi pada 12 Oct 2021
Bagikan