BPCB
Kamis, 19 Mei 2022 20:19 WIB
Penulis:Kusumawati
Editor:Redaksi
SUKOHARJO (Soloaja.co) - Forum Budaya Mataram (FBM) mempertanyakan raibnya eksavator yang digunakan sebagai alat untuk menjebol tembok bekas beteng Keraton Kartasura.
Ironisnya pihak Kepolisan dalam hal ini Polres Sukoharjo mengaku tidak tahu menahu keberadaan eksavator tersebut, padahal kasus tersebut masih dalam proses penyelidikan oleh PPNS BPCB.
"Kemarin saat kami datang ke lokasi bersama tim Kejagung, barang bukti eksavator tidak ada. Kami mempertanyakan, kemana barang bukti tersebut," kata Ketua FBM, BRM Kusumo Putro, Kamis 19 Mei 2022.
"Barang itu disimpan dimana? Apakah disimpan di Kejati Jawa Tengah (Jateng), di Polres Sukoharjo, di Polsek Kartasura, BPCB Jateng, Polda Jateng, atau dimana? Ini perlu dipertanyakan, karena menurut kami (eksavator) itu adalah alat bukti pokok, jangan ada yang main main," tegasnya.
Sebagai barang bukti dalam kasus yang masih dalam tahap penyelidikan, menurut Kusumo, semestinya eksavator itu diamankan. Tidak boleh dipinjamkan secara sembarangan tanpa prosedur yang telah diatur dalam perundang-undangan.
"Misalnya itu diambil untuk dipinjam oleh pemiliknya, itu harus melalui prosedur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak bisa begitu saja diambil seenaknya. Karena ini alat bukti yang nanti akan disampaikan ke pengadilan," ujarnya.
Kusumo juga menilai, dalam kasus ini mestinya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Jawa Tengah (Jateng) yang menangani, sudah bisa menetapkan para tersangka pelaku perusakan tembok bekas beteng keraton itu. Alat bukti yang dibutuhkan sudah lebih dari cukup.
"PPNS bisa menerapkan Pasal 31 Ayat 5 UU 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang berbunyi, selama proses pengkajian, benda, bangunan, atau struktur hasil temuan yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai cagar budaya. Kan sudah jelas, bahwa lokasi bekas beteng itu sudah didaftarkan. Walaupun belum punya SK penetapan atau daftar register, itu tidak ada masalah," paparnya.
Dengan pendaftaran yang sudah dilakukan, maka lanjut Kusumo, penerapan UU Cagar Budaya untuk melindungi bangunan bekas beteng keraton itu dari kerusakan baik disengaja maupun tidak disengaja, sudah berlaku.
"Kalau baru didaftarkan saja sudah terjadi perusakan dibiarkan, nanti lama kelamaan ketika SK penetapan itu turun, barangnya bisa jadi sudah tidak ada, atau lenyap karena dibongkar dari sedikit demi sedikit. Maka, pasal dalam UU Cagar Budaya itu bisa dijadikan acuan penyidik dari PPNS untuk menjerat tersangka pelakunya dan segera dilakukan penahanan," tandasnya.
Perusakan cagar budaya adalah sebuah kejahatan sehingga ada ancaman pidananya. Pasal 105 UU 11/2010 sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (1) UU 11/2010 dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 15 tahun dan/atau denda paling sedkit Rp500 juta dan paling banyak Rp5 miliar.
"Jadi dalam penanganan kasus ini, tidak perlu ada Perda, Acuannya cuma satu, yakni UU cagar budaya. Dan di UU cagar budaya ini sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) No.1, terbit pada Januari 2022 lalu, sebagai peraturan pelaksanaannya. Ini PP terbaru yang menegaskan bahwa ODCB itu disamakan dengan cagar budaya. Kami terus kawal kasus ini," imbuhnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kapolres Sukoharjo AKBP Wahyu Nugroho Setyawan mengatakan, kewenangan penanganan kasus ini ada di PPNS BPCB, kepolisian hanya dalam pendampingan saat pemeriksaan.
"Kalau terkait barang bukti (eksavator), itu coba ditanyakan ke BPCB karena yang memeriksa mereka. Kami dari Polri melalui Dirkrimsus Polda Jateng hanya diminta untuk pendampingan," kata Kapolres.
Bagikan