Ini Kata Pakar Ekonomi FEB UNS Tentang Kenaikan Harga BBM
SOLO (Soloaja.co) – Penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi, hingga non subsidi, mendapat tanggapan pro dan kontra di masyarakat. Merespon hal tersebut, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Lukman Hakim, S.E., M.Si., Ph.D. mengatakan bahwa kenaikan harga BBM merupakan sesuatu hal yang tak bisa dihindari.
Namun Lukman Hakim, Ph.D menilai keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dilakukan pada waktu yang tidak tepat. Terlebih, Pemerintah tidak memiliki kebijakan publik yang tertata dan terkesan terburu-buru dalam menaikkan harga BBM ini.
- Optimalkan Pertumbuhan Ekonomi, UMKM Didorong Digitalisasi Ekosistem Warung
- Jamkrindo Optimalkan Transformasi Layanan Digital, Mitra Terjamin Capai 5 Juta
“Kenaikannya jangan terlalu tinggi. Seharusnya harga tidak langsung dinaikkan sebanyak itu, melainkan bertahap. Atau ada angka tengah agar masyarakat yang terdampak tidak keberatan dengan kenaikan harga BBM yang diikuti dengan kenaikan harga komoditas lain,” ujar Lukman Hakim Ph.D, Selasa 6 September 2022.
Lukman Hakim, Ph.D saat menjadi narasumber webinar dengan tema ‘Meninjau Kenaikan Harga BBM dan Efektifitas Cash Transfer: Kebijakan Serampangan Rezim Jokowi?’ menambahkan, sudah seharusnya Pemerintah lebih kreatif dalam membuat kebijakan publik. Yangmana menyusun kebijakan tanpa membuat masyarakat menjadi terbebani.
Dirinya pun turut mencontohkan saat Pemerintah mengeluarkan kebijakan peralihan dari Premium ke Pertalite secara bertahap. Karena pada saat itu, Pemerintah juga mengedukasi masyarakat untuk beralih dari BBM nilai oktan Research Octane Number (RON) 88 atau Premium ke BBM RON 90 atau Pertalite untuk mengurangi masalah polusi. Dampaknya secara perlahan masyarakat dengan sukarela memilih untuk menggunakan Pertalite yang selisih harganya tidak terlalu banyak.
- Mendengar Suara Pelanggan Menjadikan Telkomsel Lebih Baik
- ‘Djawa Soegih: Menggali yang Lama, Menggapai yang Baru’, Seminar Internasional PUI Javanologi
Dengan demikian, Pemerintah harus memiliki kebijakan publik yang lebih tertata sebelum memutuskan menaikkan harga BBM tersebut. Atau bisa mengeluarkan kebijakan seperti halnya saat peralihan dari Premium ke Pertalite, kenaikan tidak tinggi namun dibuat secara bertahap.
“Pemerintah harus lebih kreatif dalam membuat kebijakan publik. Juga membuat kebijakan publik yang sifatnya terintegratif dengan kebijakan yang sudah ada. Jangan sampai kebijakan publik yang sudah dikeluarkan justru membebani masyarakat,” tutup Lukman Hakim, Ph.D.
aAdapun penyesuaian harga BBM sebagai berikut, BBM bersubsidi jenis Pertalite naik dari Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000/liter. Sementara itu, harga Solar subsidi naik dari Rp 5.150/liter menjadi Rp 6.800/liter. Serta harga Pertamax naik dari Rp12.500/liter menjadi Rp 14.500/liter. Namun demikian, untuk BBM jenis non subsidi kenaikan harga tersebut berbeda di setiap wilayah masing-masing.