Brain Drain: Mengapa Talenta Muda Indonesia Lebih Memilih Berkarier di Luar Negeri?

Redaksi Daerah - Selasa, 11 Februari 2025 09:07 WIB
Mengenal Fenomena Brain Drain, Aksi Anak Indonesia Pilih Cari Peluang Lebih Baik di Luar Negeri

JAKARTA – Akhir-akhir ini bagi Anda yang sering scrolling media sosial, tentu sudah tidak asing dengan fenomena ‘Kabur Aja Dulu.’ Tidak sedikit warganet yang membagikan unggahan dengan tagar #KaburAjaDulu di sejumlah platform media sosial termasuk (Twitter) X. Bahkan hal tersebut sempat menjadi topik tren unggahan.

Banyak pengguna media sosial juga memanfaatkan tagar tersebut untuk membagikan pengalaman hidup mereka di luar negeri, termasuk di Malaysia, Singapura, India, Jepang, dan Dubai.

Di samping itu, melalui #KaburAjaDulu, warganet berbagi informasi mengenai lowongan kerja, beasiswa, kursus bahasa, serta pengalaman berkarier dan kehidupan di luar negeri.

Selain itu, tagar tersebut lebih sering digunakan sebagai bentuk ungkapan kekecewaan dan kecemasan generasi muda terhadap berbagai isu sosial dan politik di Indonesia.

Maraknya tagar #KaburAjaDulu mencerminkan besarnya kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah Indonesia. Netizen di platform X menilai aspek seperti pendidikan yang layak, kesempatan kerja, dan jaminan kualitas hidup belum mampu dipenuhi oleh pemerintah, terutama jika dibandingkan dengan negara lain.

Mungkin itu terlihat hanya tagar biasa, tapi warganet memiliki keinginan meninggalkan tanah air demi kehidupan yang lebih sejahtera.

Munculnya tagar #KaburAjaDulu berkaitan dengan fenomena brain drain yang telah berlangsung di Indonesia serta negara-negara berkembang lainya selama bertahun-tahun. Lantas apa itu brain drain? Bagaimana dampaknya terhadap negara? Dan bagaimana cara mengurangi atau meminimalkannya?

Apa Itu Brain Drain?

Secara sederhana, brain drain atau human capital flight mengacu pada perpindahan kaum intelektual, ilmuwan, dan cendekiawan dari negara asal mereka untuk menetap di luar negeri. Dilansir dari Investopedia, brain drain juga dapat merujuk pada perpindahan profesional antar perusahaan atau industri untuk mendapatkan gaji atau kesempatan yang lebih baik.

Dilansir dari Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 3 No. 1, Juni 2012 oleh Asep Ahmad Saefuloh, Brain drain merupakan fenomena yang mengacu pada migrasi intelektual, terutama tenaga terampil atau profesional.

Di Indonesia, fenomena ini diperkirakan mulai muncul pada dekade 1980. Perkembangannya semakin meningkat pada 1990-an, ketika Habibie mengirim lulusan SMA untuk menempuh pendidikan di luar negeri.

Pada saat yang sama, Amerika menerapkan kebijakan dengan menawarkan gaji tinggi serta berbagai insentif, seperti green card, bagi tenaga kerja imigran yang ahli dan berprestasi, yang didukung oleh peningkatan anggaran untuk perguruan tinggi.

Situasi ini menarik minat mahasiswa Indonesia di luar negeri untuk menetap dan bekerja di Amerika. Perkembangan selanjutnya terjadi saat krisis ekonomi menimpa Indonesia pada 1990-an, yang menyebabkan banyak lulusan memilih tetap tinggal di luar negeri daripada kembali ke Indonesia yang belum menjanjikan kejelasan bagi masa depannya.

Hal serupa terjadi ketika Indonesia merestrukturisasi Badan Pengelola Industri Strategis, menyebabkan banyak ilmuwan kehilangan pekerjaan. Akibatnya, mereka memilih berpindah ke berbagai negara seperti Jerman, Malaysia, Brasil, Turki, dan kawasan Timur Tengah.

Dilansir dari portal berita UPI, fenomena brain drain saat ini telah berkembang. Tidak hanya diaspora Indonesia (orang Indonesia di perantauan) yang berstatus ilmuwan dan peneliti kelas atas, tetapi juga mencakup kelompok diaspora yang memilih berkarier dan bekerja di berbagai sektor pekerjaan di perusahaan luar negeri.

Oleh karena itu, kepulangan mereka ke Tanah Air tidak hanya bergantung pada ketersediaan perusahaan yang menawarkan gaji tinggi, tetapi juga dipengaruhi oleh kualitas kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat di Indonesia. Faktor lain yang berperan adalah sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi clean governance, dengan birokrasi yang bersih dan tidak koruptif.

Kondisi Tenaga Kerja di Indonesia

Berdasarkan data BPS per Februari 2024, sekitar 7,1 juta angkatan kerja berusia di atas 15 tahun yang tidak memiliki pekerjaan. Di sisi lain, Indonesia juga tengah dihadapkan pada gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Selain itu, Indonesia juga dilanda badai pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi ratusan ribu pekerja. Pada Januari hingga Juni 2024, sebanyak 101.536 pekerja mengalami PHK. Di era modern ini, mencari pekerjaan sulit, bahkan bagi lulusan perguruan tinggi sekalipun.

Adapun, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada 2024, generasi muda, termasuk Gen Z, masih mendominasi angka pengangguran terbuka di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah tingginya jumlah lulusan baru yang memasuki pasar kerja setiap tahun, sementara pertumbuhan lapangan pekerjaan tidak mampu mengimbangi pertumbuhan tersebut.

Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2024, sebanyak 3,6 juta Gen Z berusia 15-24 tahun tercatat menganggur. Sementara itu, total pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,2 juta orang. Dengan demikian, Gen Z sekitar 50,29% dari keseluruhan angka pengangguran terbuka di Indonesia.

“Ini kan ramai di media sosial, Gen Z sulit mendapat kerja karena kebijakan dan syarat mendapat pekerjaan terlalu sulit. Pemerintah harus beri atensi lebih dan segera temukan solusinya,” ungkap Anggota Komisi IX DPR RI Charles Meikyansah, dikutip dari emedia.dpr.go.id.

Dilansir dari Green Network, setelah pandemi COVID-19, pertumbuhan lapangan kerja melambat, sementara semakin banyak tenaga kerja yang terserap ke sektor informal dengan upah rendah dan tanpa perlindungan.

Keterbatasan peluang kerja sering dikaitkan dengan adanya ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dan kebutuhan pasar kerja, serta peralihan dari industri padat karya ke industri padat modal.

Terlebih situasi yang sulit ini semakin diperburuk oleh berbagai permasalahan struktural, seperti diskriminasi usia kerja, yang menyebabkan banyak orang kesulitan dalam memperoleh pekerjaan.

Batasan usia kerja banyak ditemukan di berbagai sektor, mulai dari administrasi dan pramuniaga hingga pekerja pabrik, baik di perusahaan swasta, BUMN, maupun institusi pemerintah. Bahkan, praktik ini juga marak terjadi di bidang atau sektor yang selama ini dianggap sebagai intelektual.

Di Indonesia, persyaratan batas usia dalam lowongan kerja merupakan hal yang umum ditemui dan sering dianggap wajar, bahkan oleh Kemnaker.

Banyak sektor atau bidang pekerjaan yang menerapkan batasan usia, sehingga menyulitkan baik lulusan baru maupun pekerja berusia di atas 30 tahun dalam mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, praktik ini turut memperkuat diskriminasi berbasis usia atau ageisme di dunia kerja.

Dilansir dari jurnal yang berjudul “Pengaruh Persyaratan Usia Terhadap Peluang Kerja Bagi Tenaga Kerja di Indonesia”, di beberapa negara, diskriminasi usia di tempat kerja dilarang karena disadari bahwa usia bukanlah indikator utama kinerja seseorang dan sering kali tidak berhubungan dengan keterampilan dalam pekerjaan.

Sebaliknya, faktor seperti kompetensi, kredensial, dan bakat seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menentukan kelayakan seseorang untuk suatu posisi. Namun, batasan usia dalam lowongan pekerjaan masih dianggap sebagai hal yang wajar di Indonesia.

Dampak Brain Drain untuk Indonesia

Dilansir dari Investopedia, beberapa faktor umum dapat memicu brain drain di tingkat geografis, di antaranya ketidakstabilan politik, rendahnya kualitas hidup, keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan, dan minimnya peluang ekonomi.

Kondisi ini mendorong tenaga kerja terampil dan berbakat untuk meninggalkan negara asal mereka demi mencari peluang yang lebih baik di tempat lain.

Perpindahan tenaga ahli dan pelajar cerdas dari Indonesia ke luar negeri memberikan dampak merugikan bagi negara, karena secara langsung negara kehilangan sumber daya manusia berkualitas yang seharusnya dapat berkontribusi dalam pembangunan.

Dilansir dari ugm.ac.id, Indonesia saat ini menghadapi fenomena brain drain, perpindahan kaum intelektual, ilmuwan, dan cendekiawan yang memilih menetap di luar negeri.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham, sejak 2019 hingga 2022, sebanyak 3.912 warga negara Indonesia (WNI) telah berpindah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura.

Mayoritas dari mereka berada dalam usia produktif, yaitu 25-35 tahun. Bahkan, menurut laporan Human Flights and Brain Drain Index tahun 2024 yang dirilis oleh The Global Economy, Indonesia saat ini menempati peringkat ke-88 dari 175 negara.

Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Dr. Hempri Suyatna mengatakan, ribuan WNI yang memutuskan pindah ke Singapura selama tiga tahun berturut-turut menegaskan Indonesia berisiko kehilangan sumber daya manusia yang berkualitas dan berpotensi.

Selain itu, fenomena ini menunjukkan Singapura dianggap sebagai tempat yang lebih menjanjikan untuk pengembangan karier, mendapatkan kesempatan ekonomi dan pendidikan.

Banyaknya sumber daya manusia (SDM) usia produktif yang memilih berpindah kewarganegaraan sangat disayangkan, mengingat kelompok usia ini berperan penting dalam mendorong pembangunan di Indonesia.

Generasi muda memiliki potensi besar, kreativitas, dan inovasi yang unggul. Sayangnya, ketika mereka memilih menetap di luar negeri, Indonesia tidak hanya kehilangan tenaga terampil, tetapi juga berisiko menghadapi ketimpangan ekonomi antarnegara serta perlambatan akselerasi pembangunan.

Dilansir dari Investopedia, brain drain memberikan dampak besar bagi negara berkembang, salah satunya adalah berkurangnya pendapatan pajak, yang dapat memicu peningkatan beban pajak untuk menutupi kekurangan tersebut.

Selain itu, minimnya sumber daya manusia yang berkualitas dapat berdampak pada keterbatasan akses terhadap layanan penting seperti pendidikan dan kesehatan, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat.

Langkah untuk Mengurangi Brain Drain

Dilansir dari Investopedia, tidak ada perbaikan mudah untuk mengatasi brain drain, namun para pemimpin bisnis dan pemerintah dapat melakukan beberapa hal untuk mengurangi atau meminimalkannya:

- Meningkatkan investasi pada sektor ekonomi tertentu

-Tawarkan upah yang kompetitif

- Membuka jalan bagi reformasi hukum dan sosial

- Meningkatkan kualitas sumber daya seperti perumahan dan layanan kesehatan

- Menyediakan solusi perumahan yang terjangkau

Adapun, dilansir dari ugm.ac.id, Hempri mendesak pemerintah untuk segera merancang grand design pembangunan kependudukan akan menjadi semacam blue print di dalam menyusun peta kebutuhan dan ketersediaan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian lulusan perguruan tinggi.

Diharapkan, dengan adanya keterkaitan antara pendidikan dan pasar kerja, jumlah tenaga muda terampil yang memilih bekerja di luar negeri dapat diminimalkan.

Namun, peta kebutuhan ini saja tidak akan cukup mengingat dinamika pasar kerja yang terus berubah. Terlebih, jika proses rekrutmen tenaga kerja masih bergantung pada sistem kekerabatan atau koneksi pribadi, yang sering disebut sebagai Ordal (orang dalam), maka program tersebut sia-sia.

Nah, dari fenomena tersebut, menurut kalian bagaimana?

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 11 Feb 2025

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh pada 11 Feb 2025

Editor: Redaksi Daerah

RELATED NEWS