Berlaku Tiga Tahun Lagi, KUHP Bukan untuk Melindungi Presiden Jokowi

Kusumawati - Kamis, 26 Januari 2023 19:38 WIB
Sosialisasi KUHP bertajuk "Kenduri KUHP Nasional" yang digelar Kemkominfo di Universitas Diponegoro Semarang (Istimewa )

SEMARANG (Soloaja.co) – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md, memastikan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru akan diimplementasikan pada 2026.
Pernyataan Mahfud ini sekaligus membantah kritikan bahwa KUHP baru, disahkan untuk melindungi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Nyatanya, KUHP tersebut baru akan diimplementasikan ketika Jokowi sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI.

Hal itu diungkapkan Mahfud saat Sosialisasi KUHP bertajuk "Kenduri KUHP Nasional" yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) di Gedung Prof. Soedarto SH, Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Selasa 24 Januari 2023.

"Ada yang mengkritik masalah kebebasan berekpresi. Kebebasan menyatakan pendapat. Kebebasan menulis berita, dan masalah ancaman pidana bagi orang yang menghina kepala negara," kata Mahfud.

Terkait hal itu, jelas Mahfud, ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, sejak dulu ketentuan hukum pidana, untuk orang yang menghina dan memfitnah presiden, sudah ada hukum pidananya.
Kedua, jelas dia, jika hal itu ditujukan kepada Presiden Jokowi, KUHP baru itu justru tidak berlaku untuk Presiden Jokowi. Hal ini dikarenakan KUHP baru diimplementasikan tiga tahun lagi atau 2026.

"Sedangkan Presiden Joko Widodo sudah akan berakhir masa jabatannya pada 20 Oktober 2024," jelas dia.

Pada kesempatan tersebut Mahfud pun bercerita bahwa sesungguhnya Presiden Jokowi pernah menyampaikan kepadanya, jika ketentuan pasal menghina presiden dihukum atau tidak, sesuatu yang tidak penting baginya pribadi.

Hal tersebut karena diakuinya setiap hari pun merasa sudah dihina, tapi dirinya tidak pernah menggugat. Artinya, Presiden Jokowi telah menegaskan jika KUHP baru, dibuat semata-mata untuk masa depan negara.

Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP pada 2 Januari 2023.

Dengan demikian beleid hukum pidana terbaru itu akan menggantikan KUHP yang merupakan warisan kolonialisme Belanda. KUHP terbaru terdiri dari 37 bab, 624 pasal, dan 345 halaman. Kemudian, KUHP juga terbagi dalam dua bagian yaitu bagian pasal dan penjelasan.

Menurut Mahfud, Pemerintah akan terus melakukan sosialisasi terkait KUHP yang baru itu. Harapannya adalah dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya penerapan KUHP.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward O.S. Hiariej, menyatakan bahwa setidaknya ada lima misi KUHP Nasional.

"Pertama adalah dekolonialisasi. Dekolonialisasi diterjemahkan sebagai upaya untuk menghilangkan nuansa-nuansa kolonial yang ada di dalam KUHP lama," kata Edward.

Hal itu setidaknya tersaji dalam buku kesatu KUHP Nasional yang baru saja disahkan yang tidak hanya berorientasi pada kepastian semata, tetapi juga pada keadilan dan kemanfaatannya.
Ketika hukum positif itu bertentangan dengan keadilan, katanya, maka yang harus diutamakan adalah keadilan.

"Dekolonialisasi lain yang kita lihat dari KUHP yang baru itu juga ada kebaharuan dalam pidana dan pemidanaan yang mana, meskipun pidana penjara merupakan pidana pokok, tapi dia bukan yang utama," jelas dia.

Kedua, lanjutnya, misi KUHP yang baru adalah demokratisasi. "Bahwa tidak benar kalau dikatakan KUHP yang baru itu bertentangan dengan demokrasi," tegas dia, seraya menambahkan bahwa KUHP itu pun tidak mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Hal itu dikarenakan, rumusan pasal tindak pidana dalam KUHP sesuai konstitusi dan pertimbangan hukum dari putusan MK atas pengujian pasal-pasal KUHP terkait.

Ketiga adalah konsolidasi penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan rekodifikasi
Keempat, harmonisasi. Diketahui bersama bahwa banyak sekali Undang- undang sektoral yang jumlahnya kurang lebih 200 yang diharmonisasikan dengan KUHP baru.
"Yang kelima misi KUHP itu adalah modernisasi," ujar dia.

Hal itu menegaskan bahwa modernisasi ini tidak terlepas dari paradigma hukum pidana modern yang tidak lagi berorientasi hukum sebagai pembalasan. Sedangkan KUHP yang baru mengedepankan keadilan.

Menambahkan yang disampaikan Mahfud dan Edward, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kominfo), Usman Kansong, mengatakan pihaknya akan melakukan berbagai cara untuk menyosialisasikan KUHP yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Januari 2023 tersebut.
Misalnya melalui dialog publik yang memanfaatkan berbagai media seperti media arus utama, media sosial (medsos), hingga seni pertunjukan rakyat.

"Kami juga berdayakan penyuluh informasi publik di daerah- daerah untuk mensosialisasikan RKUHP pada waktu itu," katanya.

Usman pun mengungkapkan jika berdasarkan hasil monitoring di media sosial (medsos) yang dilakukan Kemkominfo, pembahasan terkait KUHP hasilnya positif. "Data yang kami peroleh sekitar 92 persen, komunikasi publik melalui media sosial tone-nya positif," ujar Usman.

Meski demikian, terang Usman, untuk media arus utama khususnya media asing diakuinya menunjukan hasil yang sebaliknya.

Sebanyak 82 persen bernada negatif, di antaranya adalah media asing yang menyoroti terkait pasal kohabitasi atau perzinahan. Sedangkan pemberitaan di media nasional yang cenderung negatif adalah terkait kebebasan pers.

"Saya pun menyampaikan bahwa tidak ada hal yang spesifik terkait dengan pers yang diatur di dalam KUHP. Artinya, kalau ada persoalan dengan pers, maka yang kita pakai adalah Undang- undang Pers No 40 Tahun 1999," kata Usman.

Oleh karena itu, tegas Usman, dalam kurun waktu tiga tahun ke depan Kementerian Kominfo bersama dengan Kemenko Polhukam dan Kementerian Hukum dan HAM akan terus memberikan pemahaman yang tuntas kepada masyarakat terkait KUHP yang baru ini.

Kenduri KUHP Nasional turut dihadiri oleh Rektor Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Yos Johan Utama, Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, dan Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Prof. Barda Nawawi Arief.

Editor: Redaksi
Bagikan

RELATED NEWS