Berdampingan dengan Trauma Kekerasan Seksual

Redaksi - Selasa, 11 Juli 2023 16:52 WIB
Berdampingan dengan Trauma Kekerasan Seksual (Dinas Pemberdayaan Perempauan Perlindungan Anak)

SOLO - Kekerasan seksual merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat dari waktu ke waktu. Dikutip dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, jumlah pengaduan kasus pada tahun 2022 menyentuh angka 457.895 kasus.

Jumlah tersebut bukanlah jumlah kasus yang sebenarnya terjadi di lapangan. Rahayu Purwa, penggiat LSM Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) dalam acara Workshop dan Fellowship “Kekerasan Seksual dan Media yang Berperspektif Korban” Sabtu,(20/5/2023) di Hotel Amrani, Solo mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan data ini tidak sesuai dengan data yang terjadi di lapangan.

Faktor tersebut di antaranya soal layanan pengaduan dan penanganan yang tidak berjalan dengan baik hingga korban yang enggan melapor. Jumlah kasus kekerasan seksual yang tidak terlapor diprediksi jauh lebih banyak dibandingkan jumlah kasus yang dilaporkan.

Susianah Affandy, Anggota Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan kasus tersebut seperti“gambaran fenomena gunung es”. Banyak faktor yang membuat seseorang enggan melaporkan kekerasan seksual yang menimpanya seperti karena minimnya perlindungan, stigmatisasi sosial, hingga ketakutan.

Kasus kekerasan terhadap perempuan yang telah dilaporkan kepada lembaga berwenang, tidak serta-merta menemukan penyelesaian. Dilansir oleh TrenAsia.com dari situs resmi Komnas Perempuan pada Sabtu, 1 Juli 2023, Catatan Tahunan (CATAHU) menuliskan dalam hal penanganan dan penyelesaian kasus, hanya sedikit informasi yang tersedia yaitu sekitar 15% dari total kasus yang dicatatkan oleh Lembaga layanan dan Komnas Perempuan. Upaya penyelesaian lebih banyak secara hukum (12%) dibandingkan dengan cara non hukum (3%). Sisanya, bahkan banyak kasus yang tidak ada informasi penyelesaiannya (85%).

Berbagai hal dapat menjadi kendala dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk dalam substansi hukum yang terlihat dari penggunaan basis hukum dan pasalnya. Tak hanya itu, persoalan keterbatasan infrastruktur yang dibutuhkan untuk penyelesaian kasus, termasuk SDM, fasilitas dan anggaran berulang-ulang dikeluhkan oleh lembaga layanan untuk dapat menjalankan layanan secara optimal.

Sementara, kekerasan seksual berdampak pada kondisi psikologis, fisik, dan sosial korban, korban yang tidak melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya tidak bisa mendapatkan penanganan, perlindungan dan pendampingan sebagaimana mestinya.

Korban Tidak Melapor

Salah satu korban kekerasan seksual yang memutuskan untuk tidak melaporkan pelaku adalah L (22 tahun). Dalam wawancaranya dengan TrenAsia.com ia mengatakan trauma akan kekerasan seksual tersebut kerap muncul hingga sekarang bahkan ketika kejadian itu telah berlalu 13 tahun silam.

“Kalau dibilang sembuh, belum benar-benar sembuh. Terutama pas lagi sendirian, tiba-tiba bisa kepikiran dan nangis,” kata L kepada TrenAsia.com. Tak hanya itu, keinginan untuk bunuh diri juga kerap hinggap di pikirannya.

L kali pertama mendapatkan kekerasan seksual berupa pelecehan seksual dari kakek angkatnya saat masih berusia 9 tahun. Kala itu ia masih duduk di bangku kelas 3 SD. Pelecehan seksual tersebut terus berlanjut hingga ia memasuki bangku SMP.

Kala itu, ia dititipkan orangtuanya untuk tinggal bersama keluarga kakek angkatnya yang terdiri dari kakek, nenek, dan omnya. Orangtuanya sendiri tinggal di luar pulau sehingga sulit bagi L untuk menjangkau mereka ketika membutuhkan dukungan. Tak hanya berhenti di situ, ketika memasuki bangku SMP, pelaku pelecehan berganti menjadi omnya.

Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan suportif justru memiliki fungsi kebalikannya bagi L. Sejak kejadian tersebut, ia menjadi takut untuk tinggal di rumah terutama jika hanya berdua dengan kakeknya atau omnya. Ia lebih sering menghabiskan waktu di luar untuk bermain bersama teman-temannya.

Ketika ditanya langkah apa yang pernah ia lakukan agar kekerasan tersebut tak lagi menimpanya, ia tampak menghela nafas panjang dan berat. Ia mengaku pernah mencoba menceritakan apa yang didapatnya dari sang kakek kepada sang nenek namun bukannya dukungan yang ia dapatkan, ia malah dituduh berbohong dan mengada-ada.

Sang nenek tidak mempercayainya dan menganggapnya telah menjelek-jelekkan sang kakek. “Bukannya dibelain, aku malah dituduh bohong dan nggak dipercaya. Nenek juga bilang aku menjelek-jelekkan kakek. Kadang, dia bela kakek bilang kalau kakek ngelakuin itu karena sayang”.

Semenjak kejadian itu, ia menjadi semakin enggan untuk menceritakan apa yang menimpanya kepada siapapun termasuk sang ibu. Di satu sisi ia takut dianggap berbohong dan di satu sisi lagi ia takut membuat ibunya merasa sedih. Terlebih posisi pelaku yang dikenal agamis dan cukup dihormati di lingkungannya.

Hal ini semakin membuat L khawatir tidak akan ada yang mempercayainya. Status pelaku yang masih keluarga korban juga menjadi pertimbangan korban untuk tidak menindaklanjuti kekerasan yang menimpanya hingga sekarang.

Di usianya yang sekarang, ketika ia harus berjuang untuk fokus pada pendidikan dan masa depannya, trauma itu masih saja terus muncul terutama ketika ia sedang sendirian. Salah satu cara yang ia lakukan untuk merasa lebih baik adalah dengan membagikan isi hatinya kepada salah satu sahabatnya A (23 tahun).

Dalam wawancaranya dengan TrenAsia.com, A mengaku terkadang merasa kebingungan ketika sahabatnya tiba-tiba menceritakan masa lalunya sambil menangis. A menyadari apa yang telah dilalui L adalah jalan yang berat sehingga ia kerap khawatir apa yang diucapkannya akan semakin memperburuk kondisi L.

“Pinginnya ya bisa support mendukung gitu, tapi kadang bingung takutnya kalau salah ngomong dan bikin dia ngerasa lebih buruk. Jadi seringnya ya nguatin dengan hadir, ngedengerin setiap ceritanya, sambil pegang tangannya atau puk-puk pundaknya,” kata A.

Penelusuran TrenAsia.com berlanjut dengan mengunjungi kantor LSM Aliansi Peduli Perempuan Sukowati di Kabupaten Sragen. LSM yang diketuai oleh Sugiyarsi atau kerap disapa Mami ini telah mendampingi 233 kasus kekerasan berbasis gender sejak pertama kali didirikan yaitu tahun 2004. Saat ditemui, Sugiyarsi tengah melakukan pendampingan konseling dan konsultasi proses hukum terhadap salah satu korban kekerasan seksual yang tengah ditangani oleh APPS berinisial R (15 tahun).

Butuh Pendampingan

TrenAsia.com berkesempatan untuk mewawancarai, R dan ayahnya, W, yang turut datang mendampingi, Kepada TrenAsia.com, R mengungkapkan alasan mengapa ia berani untuk menceritakan kasus kekerasan seksual yang menimpanya yaitu karena ia tidak ingin hal yang sama terjadi kepada perempuan lain. “Karena saya tidak mau ada korban berikutnya,” kata R.

Saat ini kasus kekerasan seksual yang menimpa R tengah dalam proses penyidikan Polres Karanganyar. Selain itu R juga tengah berencana untuk berpindah sekolah dan mulai mengurus proses-prosesnya. R mengaku tidak lagi nyaman bersekolah di tempat yang lama karena terus dicecar pertanyaan oleh guru BP.

Sugiyarsi mengatakan permasalahan sekolah yang tidak memihak korban kekerasan seksual masih kerap terjadi di sejumlah tempat. Sekolah kerap beralasan bahwa proses pengeluaran siswa hamil atau siswa korban kekerasan seksual berdasarkan oleh aturan sekolah, sementara seharusnya aturan sekolah tidak lebih tinggi dari undang-undang. “Anak punya hak, dia berhadapan dengan hukum. Ia punya hak untuk tidak boleh didiskriminasikan, yang terbaik bagi anak, untuk kelangsungan hidup anak, dan hargailah pendapat anak. Dia tidak mau dikeluarkan kok. Dia punya kekuatan hukum itu,” jelasnya.

Lebih lanjut R dan W mengungkapkan keluhannya terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, mereka merasa pihak pemerintah kurang sigap dalam penanganan permasalahan dan pemrosesan, pihak korban bahkan mendapat saran dari P2TP2A untuk mengambil jalur damai.

Tak hanya itu, proses visum yang seharusnya ditanggung negara juga harus dilakukan oleh korban dengan biaya sendiri. Ditengah kondisi korban yang serba pas-pasan, korban bahkan harus meminjam uang untuk melakukan visum.

Sugiyarsi menyampaikan hal ini tidak sejalan dengan aturan UU No 35 th 2014 pasal 59 yang menyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.

Lebih lanjut, W menyampaikan harapannya untuk pemerintah ke depannya agar lebih memperbaiki perlakuan yang diberikan kepada korban kekerasan seksual. “Dalam proses hukum anak jangan dibuat takut, dia kan sudah tertekan tolong jangan dibuat takut lagi. Berikan kejelasan hukum, agar pihak korban menjadi lebih paham dan berani,” ungkapnya.

Saran Psikolog

Dalam kesempatan yang berbeda, TrenAsia.com berkesempatan untuk mewawancarai Maharani Tyas Budi Hapsari, M.Psi, Psikolog, Psikolog di Unit Konsultasi Psikologi Fapsi UGM dan Dosen Psikologi di UIN Raden Mas Said Surakarta.

Ia mengungkapkan perasaan yang kerap dialami oleh korban pelecehan seksual. “Yang pasti dirasakan oleh korban itu adalah rasa takut dan rasa jijik kepada dirinya sendiri baik itu dilakukan oleh keluarga maupun dilakukan oleh orang lain.”

Lebih lanjut, Maharani menyarankan langkah-langkah psikologis yang bisa dilakukan korban pelecehan seksual untuk merasa lebih baik.

1. Penerimaan dan Pemaafan

Ia menyebut penting bagi korban untuk mulai menerima dan memaafkan “langkah pertama yang perlu dilakukan oleh korban adalah dengan acceptance dan forgiveness”. Langkah ini penting untuk dilakukan karena biasanya yang dirasakan korban ketika melihat pelaku atau mengingat kejadian adalah rasa jijik dan rasa benci.

Maharani menyadari, proses ini tidak mudah terutama jika dilakukan secara mandiri, sehingga ia menyarankan korban untuk melakukan langkah kedua.

2. Meminta Bantuan

Langkah kedua adalah meminta bantuan terutama jika terdapat intensi untuk bunuh diri. Maharani menyarankan korban untuk meminta bantuan kepada orang tua atau orang terdekat namun jika korban merasa takut dihakimi, langkah paling aman yang dapat diambil adalah dengan pergi ke psikolog.

Asking for help bias dilakukan kepada orang tua atau orang terdekat di sekitarnya. Namun, jika korban takut untuk berbicara, takut dimarahi, takut di judge, langkah paling aman adalah dengan pergi ke psikolog”.

Lebih lanjut, Maharani mengatakan bahwa langkah paling prioritas yang harus dilakukan pada korban pelecehan seksual adalah dengan mengobati kondisi psikis korban, sebelum akhirnya melaporkan ke pihak berwenang dan mencari keadilan. “Yang harus diobati terlebih dahulu adalah kondisi psikis korban, jadi diperlukan psikolog untuk mendapatkan terapi maupun konseling khusus untuk penerimaan dan fogiveness” tambahnya.

3. Melaporkan Kepada Pihak Berwajib

Kedua langkah di atas dilakukan untuk mengembalikan kondisi psikis dan keberanian korban. Jika kedua langkah diatas telah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah dengan melaporkan pelaku ke pihak berwajib untuk mendapatkan keadilan.

“Selanjutnya, ketika korban telah memiliki kesiapan, keterbukaan, dan keyakinan, korban dapat melapor ke orang terdekat seperti keluarga, baru dengan dukungan keluarga korban dapat melaporkan pelaku ke kepolisian”. ujar Maharani.

Proses hukum yang panjang dan terkadang tidak mulus kerap menjadi hambatan tersendiri bagi korban, sehingga penting bagi korban untuk memulihkan kondisi psikisnya terlebih dahulu.

Support system menjadi salah satu pihak yang memiliki peran penting dalam proses mengembalikan kondisi psikis korban. Sayangnya, dalam kenyataanya banyak teman atau keluarga yang tanpa sadar bersikap kurang tepat terhadap korban pelecehan seksual sehingga membuat korban menjadi merasa tidak nyaman alih-alih merasa mendapatkan dukungan.

Support System

Di kesempatan yang sama, Maharani juga memberikan saran-saran yang bisa dilakukan oleh support system ketika menghadapi teman atau keluarga yang mengalami pelecehan atau kekerasan seksual.

“Yang harus dilakukan oleh seorang support system ketika menolong permasalahan apapun yaitu permasalahan yang sifatnya traumatis yang pertama adalah bertanya. Tujuannya adalah untuk membuat korban merasa aman dan nyaman terlebih dahulu.”

Maharani menyarankan support system untuk bertanya apa kebutuhan korban saat ini “Pertama tanyakan dahulu apa yang bisa saya lakukan untukmu? Langkah ini bisa menjadi salah satu antisipasi supaya kita tidak salah langkah dalam memberikan dukungan kepada korban” jelasnya.

Lebih lanjut, Maharani menyarankan support system untuk menjauhkan benda-benda tajam yang berpotensi digunakan korban untuk melukai dirinya terutama jika ada tendensi keinginan untuk melakukan tindakan bunuh diri dari sang korban “Jika support system sering berinteraksi secara langsung, coba jauhkan benda-benda yang berpotensi melukai dirinya” pungkasnya.

Setiap korban kekerasan seksual memiliki kebutuhan yang berbeda, sehingga penting bagi mereka untuk mendapatkan dukungan yang disesuaikan dengan kebutuhan individu mereka. Namun, pada umumnya kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan keamanan dan perlindungan, dukungan emosional, perawatan medis, konseling dan terapi, dukungan hukum, hingga rujukan dan akses ke layanan.

Penting bagi kita untuk menyadari peran dan bantuan yang mungkin dapat kita berikan untuk korban kekerasan seksual untuk membuat mereka merasa lebih baik.

*Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Fellowship Kekerasan Seksual dan Media yang Berperspektif Korban yang diadakan AJI Solo dan AJI Indonesia

Editor: Redaksi

RELATED NEWS