Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah Sebut Dirjen PAS Wajib Bertanggung jawab Atas Carut-marut Kasus yang Muncul di Rutan dan Lapas Indonesia

Selasa, 07 September 2021 23:10 WIB

Penulis:Kusumawati

Editor:Redaksi

IMG_20210907_231349.jpg
Trubus Rahadiansyah

SOLO (Soloaja.co) - Berbagai permasalahan dan perselisihan yang muncul di lapas dan di rutan tak pernah mereda hingga sekarang. Ironisnya banyak kasus yang muncul dari dalam lapas tersebut yang mereda tanpa penyelesaian atau diredam.

Misalnya pada kasus berkaca pada kasus penceramah Bahar bin Smith yang terlibat perselisihan dengan terpidana Very Idham Henyansyah alias Ryan, pembunuh berantai asal Jombang di Lapas Gunung Sindur yang berujung perkelahian.

Keributan tersebut terjadi awalnya gara-gara persoalan uang ratusan ribu di antara keduanya. Ryan Jombang dikabarkan mengalami luka parah usai dipukuli oleh Bahar Smith.

Melihat fenomena tersebut, pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menyoroti sistem dan kinerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS). Dimana saat ini posisi Dirjen PAS dijabat Irjen Pol Reynhard SP Silitonga atau Reynhard Silitonga.

"Dirjen PAS mempunyai wewenang cukup besar, ada anggaran dan sebagainya, seharusnya bisa digunakan untuk pembenahan. Artinya ada tindakan bagi yang melakukan pelanggaran hukum berat ya diberi sanksi baik teguran sampai pemberhentian," tegas Trubus, Selasa 7 September 2021.

Pakar Kebijakan Publik itu mengatakan dari sisi leadership memang ada masalah di sini. Kalau tidak mampu (mengawasi-red) ya ajak masyarakat untuk berperan dalam pengawasan. Diberikan akses untuk ikut mengawasi. Seharusnya seperti itu," terangnya.

Trubus memaparkan, permasalahan yang terjadi di rutan maupun lapas bak gunung es yang menjadi ancaman besar dan memerlukan penanganan serius.

Menurutnya, sistem pengawasan yang belum maksimal menjadi kelemahan mencolok. Dan yang menyedihkan, lanjut dia, kasus yang terjadi seperti budaya yang selalu berulang-ulang.

"Kelemahan dalam pengawasan menjadi problem tersendiri dan dari dulu saya selalu teriak-teriak. Kedua reformasi birokarasi yang belum dibenahi adalah pembenahan internal. Kan sudah ada SOP dan tupoksinya semuanya, prgoram sudah ada ya seharusnya dilaksanakan saja," paparnya.

Pria asal Purworejo itu menilai masih banyak kasus serupa yang terjadi namun tidak sampai muncul di publik. Sinyal menutup-nutupi kasus yang terjadi di dalam lapas maupun di rutan menjadi catatan tersendiri bagi dirinya.

"Sekali lagi ini masalah integritas orangnya. Kalau memang ada masalah ya ganti saja Dirjen, Kanwil hingga Kalapas sampai sipir diberi sanksi sesuai aturan hukum dan digeser kedudukannya," tandas pria berkacamata itu saat dikonfirmasi, Selasa (7/9).

"Bisa ambil contoh insitusi Polri yang selalu merotasi anggotanya. Bisa dibuat semacam SOP tugasnya hanya dua sampai tiga tahun kemudian digeser. Ini akan efektif mencegah adanya sistem 'tahu sama tahu' jika terjadi suatu kasus di lapas maupu  rutan," beber Trubus yang selama ini kritis mensikapi berbagai masalah yang timbul.

Untuk itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta tersebut memberikan masukan tentang pentingnya penguatan dalam aspek transparansi dan pengawasan.

Ditambahkan Trubus. pengawasan menggunakan sistem digitalisasi yang bisa diakses publik secara terbuka bisa menjadi solusi agar berbagai kasus hukum yang terjadi di lapas maupun rutan tak lagi muncul.

"Lapas itu kan masyarakat, jadi dalam pengawasan ya harus berkolaborasi dengan berbagai pihak sehingga akan ada masukan dari pakar, LSM, lembaga lain termasuk media. Digitalisasi pengawasan secara terbuka juga penting dilakukan," urai pengamat dan pemerhati Kebikakan Publik itu.