Selasa, 14 Februari 2023 18:54 WIB
Penulis:Kusumawati
Editor:Redaksi
SOLO (Soloaja.co) - Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo pelaku pembunuhan berencana terhadap korban Yosua N. Hutabarat anggota Polri sekaligus ajudannya, akhirnya mendapat vonis pidana mati.
Pakar hukum Henry Indraguna, menyatakan putusan Majelis Hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Ferdy Sambo dan terdakwa Putri Candrawati (Ultra Petita), sudah mencerminkan keadilan.
"Putusan hakim tersebut, secara hukum telah mencerminkan rasa keadilan, lagi pula secara hukum, Hakim bebas menentukan berat ringannya pemidanaan sesuai dengan batasan minimum dan maksimum hukuman atas perkara yang diperiksa. Putusan hakim kasus pidana pada dasarnya bertujuan untuk melindungi kepentingan publik," terang Henry melalui pesan tertulis, Selasa 14 Februari 2023.
Lanjut Henry yang juga merupakan anggota Tim Ahli Hukum Perundangan-undangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpes), dalam kasus terdakwa Ferdy Sambo Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana penjara seumur hidup terhadap terdakwa Ferdy Sambo, namun dalam Putusan Majelis Hakim menjatuhkan putusan pidana mati terhadap terdakwa Ferdy Sambo.
"Dan terhadap terdakwa Putri Candrawati Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana penjara 8 tahun, namun dalam Putusan Majelis Hakim menjatuhkan putusan pidana penjara 20 tahun terhadap terdakwa Putri Candrawati," ujar Henry.
Selain dari itu, terkait Kontroversi Pasal 100 KUHP (UU KUHP Terbaru) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 100 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP) menyatakan “Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
Yang apabila dikaitkan dengan Putusan Majelis Hakim dalam menjatuhkan Pidana Mati terhadap terdakwa Ferdy Sambo, maka menurut hemat saya, terdapat dua hal yang dapat mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup sebagaimana tercantum pada Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP) yakni:
(1)Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:
a.Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
b.Peran terdakwa dalam tindak pidana.
(2)Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) harus dicantumkan dalam Putusan Pengadilan;
(3)Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap;
(4)Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung;
(5)Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan;
(6)Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Jika melihat pemberitaan yang bergulir sejak dijatuhkannya pidana mati kepada terdakwa Ferdy Sambo, muncul banyak asumsi yang menyatakan bahwa jika terdakwa Ferdy Sambo sudah menjalani pidana penjara selama 10 tahun, maka putusan pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. KUHP terbaru akan berlaku pada tahun 2026, sekitar 3 tahun lagi.
"Berdasarkan ketentuan Pasal 100 KUHP terbaru, jika dicermati maka suatu pidana mati baru dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup apabila di dalam Putusan Majelis Hakim tersebut menyatakan adanya pidana mati diikuti dengan masa percobaan yang harus dicantumkan dalam Putusan Pengadilan tersebut (Vide: Pasal 100 Ayat (2) KUHP)," tuturnya.
Namun dalam pembacaan amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap terdakwa Ferdy Sambo tidak menyebutkan dalam putusannya terkait adanya Pidana mati diikuti dengan masa percobaan, dan oleh karena putusan pidana mati yang dijatuhkan terhadap terdakwa Ferdy Sambo tidak di ikuti dengan masa percobaan.
Maka secara hukum tentunya ketentuan pasal 100 dimaksud tidak dapat diterapkan terhadap diri terdakwa Ferdy Sambo, kecuali terdapat adanya putusan PT atau MA yang berkata lain.
Dalam pandangan Henry Indraguna, Majelis hakim mengemukakan beberapa pertimbangan hukum sebagai berikut:
1. Tidak Adanya Unsur Pelecehan
Hakim berpendapat bahwa tidak adanya unsur pelecehan seksual yang dialami oleh isteri terdakwa Ferdy Sambo yakni Putri Candrawati yang juga turut serta menjadi terdakwa dalam peristiwa pidana tersebut.
Pelecehan seksual yang diakui oleh terdakwa Putri Candrawati dan dijadikan motif pembunuhan oleh terdakwa Ferdy Sambo menurut hakim tidaklah memiliki bukti fisik yang nyata atau akurat seperti rekam medis. Sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, termasuk alat bukti surat yaitu :
a.Surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiater/dokter spesiali kedokteran jiwa;
b.Rekam medis;
c.Hasil pemeriksaan forensic, dan/atau;
d.Hasil pemeriksaan rekening bank.
Hakim juga menilai bahwa terdakwa Ferdy Sambo telah lalai, karena pada saat peristiwa dugaan pelecehan seksual tidak membawa terdakwa Putri Candrawati melakukan pemeriksaan maupun visum. Mengingat terdakwa Ferdy Sambo merupakan penegak hukum yang berpengalaman wajib mengetahui bahwa kasus dugaan pelecehan seksual harus dilengkapi dengan alat bukti surat dimaksud.
2.Terpenuhinya Unsur Perencanaan Pembunuhan
Hakim berpendapat bahwa terdakwa Ferdy Sambo merencanakan pembunuhan, dengan landasan terdakwa Ferdy Sambo sudah mempertimbangkan peristiwa pidana tersebut. Hingga merencanakan jalan keluar, jika peristiwa pidana tidak terungkap terdakwa Ferdy Sambo juga memiliki peluang untuk mengurungkan niatnya ketika berangkat ke rumah di Jalan Duren Tiga dan menaiki mobil.
Adapun isi Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni,
“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun."
Unsur-unsur Pasal 340 KUHP pembunuhan berencana adalah diawali dengan perencanaan dan dilanjutkan dengan tindakan menghabisi nyawa manusia dan fase paling penting dalam pelaksanaannya adalah adanya masa tenang dan jarak waktu antara timbulnya kehendak membunuh dengan pelaksanaan niat tersebut.
3.Terdakwa Ferdy Sambo Membuat Alibi Pembunuhan dan turut tembak Korban.
Hakim berpendapat bahwa terdakwa Ferdy Sambo membuat alibi pembunuhan dengan menghilangkan keterlibatannya dalam pembunuhan berencana dengan menggunakan sarung tangan hitam dan menggunakan senjata milik korban sebagai alat pembunuhan.
Kemudian terdakwa Ferdy Sambo meletakkan senjata pembunuhan di tangan korban yang sudah terbunuh. Terakhir terdakwa Ferdy Sambo memerintahkan terdakwa lainnya, yakni Bharada Eliezer untuk turut serta menembak korban.
4.Terdakwa Ferdy Sambo menutupi kasus dengan melakukan suap kepada pada terdakwa lainya.
Hakim berpendapat terdakwa Ferdy Sambo telah merencanakan pembunuhan dengan menutupi kasus memberi sejumlah uang dan barang elektronik kepada para terdakwa lainnya, agar mengikuti scenario yang sudah disusun terdakwa Ferdy Sambo agar lepas dari peristiwa pidana tersebut.
Bagikan