Konklaf dan Pemilihan Paus: Tradisi Suci yang Masih Dijaga

Rabu, 23 April 2025 11:52 WIB

Penulis:Redaksi Daerah

Editor:Redaksi Daerah

Kenali Apa Itu Konklaf, Tradisi Pemilihan Pemimpin Baru Gereja Katolik
Kenali Apa Itu Konklaf, Tradisi Pemilihan Pemimpin Baru Gereja Katolik

JAKARTA –Pertemuan para kardinal, asap putih yang mengepul, serta dentang lonceng hanyalah sebagian dari rangkaian prosesi yang berlangsung setelah seorang Paus wafat dan saat pemilihan pemimpin baru Gereja dilakukan.

Seluruh tradisi ini merupakan bagian dari warisan panjang yang mengatur langkah-langkah yang diambil setelah wafatnya Paus Fransiskus pada Senin, 21 April 2025.

Paus Fransiskus meninggal dunia pada usia 88 tahun, sebagaimana diumumkan secara resmi oleh Vatikan. Kepergiannya menandai akhir dari masa kepemimpinan yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai salah satu periode paling progresif dalam sejarah Gereja Katolik Roma.

Dilansir dari Independent, setelah wafatnya Paus Fransiskus pada Senin Paskah, Gereja Katolik akan memulai proses yang hampir tidak berubah selama 800 tahun untuk memilih pemimpin baru mereka.

Proses ini dikenal sebagai ‘Konklaf Kepausan,’ yang merupakan sistem demokratis dengan penekanan kuat pada melalui berbagai putaran pemungutan suara hingga tercapai konsensus yang jelas. Berdasarkan aturan saat ini, hanya kardinal yang berusia di bawah 80 tahun yang diperbolehkan memberikan suara.

Secara resmi, calon Paus hanya perlu berjenis kelamin laki-laki dan beragama Katolik, meskipun dalam kenyataannya, selama berabad-abad, Paus hanya dipilih dari kalangan Kardinal.

Tidak ada batasan usia untuk siapa pun yang bisa menjadi Paus, namun Paus Fransiskus berusia 76 tahun saat mengambil posisi tersebut, dan kini berusia 88 tahun. Sebelumnya, Paus Benediktus berusia 78 tahun dan menjabat hanya selama delapan tahun sebelum pensiun secara mengejutkan pada usia 85 tahun.

Untuk memulai proses, diadakan misa khusus pada pagi hari, setelah itu 120 kardinal yang memenuhi syarat usia memilih akan berkumpul di dalam Kapel Sistina yang dihias indah, tempat seluruh Konklaf Kepausan sejak tahun 1858.

Apa Itu Konklaf?

Dilansir dari Global News, konklaf adalah pertemuan resmi yang bersifat tertutup di mana para kardinal berkumpul untuk memilih Paus baru.

Konklaf harus dimulai dalam rentang waktu 15 hingga 20 hari setelah terjadinya sede vacante—yang berarti Tahta Suci sedang kosong akibat wafatnya Paus—meskipun bisa dimulai lebih awal jika semua kardinal menyepakatinya.

Meskipun seluruh anggota College of Cardinals memiliki hak untuk memilih Paus, dari total 252 kardinal saat ini, hanya 135 yang memenuhi syarat usia, yakni 80 tahun atau lebih muda, berdasarkan data dari kantor pers Vatikan.

Dari 135 kardinal tersebut, sebanyak 108 di antaranya ditunjuk langsung oleh Paus Fransiskus, sementara sisanya diangkat oleh mendiang Paus Benediktus XVI dan Paus Yohanes Paulus II.

Kardinal yang usianya melebihi batas tersebut tetap dapat berkontribusi dalam berbagai pertemuan sebelum konklaf dimulai, dan mereka tetap dapat terpilih menjadi Paus meskipun tidak ikut dalam proses pemilihan.

Namun saat konklaf dimulai, sebanyak 135 kardinal yang memenuhi syarat akan dikurung di dalam area Vatikan dan tidak diperbolehkan keluar hingga Paus baru terpilih.

“Itu adalah salah satu contoh terbaik dari demokrasi langsung yang masih ada,” ujar Anderson.

“Setiap suara memiliki arti, dan pemungutan suara dilakukan setelah para kardinal berdoa. Seluruh proses konklaf diyakini berada di bawah bimbingan Roh Kudus—di mana Tuhan melalui Roh Kudus diharapkan menuntun Gereja untuk memilih calon yang paling layak.”

Asap putih yang membubung dari Kapel Sistina pada tahun 2013, menandakan pemilihan Paus Fransiskus sebagai Paus berikutnya. (Michael Kappeler/picture alliance via Getty)

Para kardinal juga diwajibkan mengucapkan sumpah kerahasiaan, dengan menyatakan bahwa mereka sadar bisa terkena hukuman ekskomunikasi jika membocorkan apa pun yang terjadi selama konklaf berlangsung.

Para Kardinal sendiri duduk di kedua sisi Kapel Sistina. Nama sembilan Kardinal dipilih secara acak untuk memimpin dan mengatur pemungutan suara. Tiga orang menjadi Pengawas, yang bertugas mengawasi pemungutan suara. Tiga orang lagi mengumpulkan suara dan tiga orang lagi merevisinya.

Pemungutan suara pertama biasanya dilakukan pada sore hari di Kapel Sistina setelah misa pembukaan. Namun, jika belum ada Paus yang terpilih, maka setiap hari akan dilakukan dua kali pemungutan suara di pagi hari dan dua kali di sore hari hingga seorang Paus terpilih.

Jika setelah tiga hari belum ada hasil, para kardinal akan mengambil jeda satu hari. “Ada doa, ada proses perenungan, ada percakapan, ada diskusi, lalu mereka memberikan suara,” kata Reid Locklin, dosen associate bidang Kekristenan dan budaya di St. Michael’s College, Universitas Toronto.

Tiga kardinal ditugaskan untuk memeriksa setiap surat suara guna memastikan telah diisi dengan benar, lalu membacakan nama-nama yang tercantum agar dapat dihitung, sebelum hasilnya diumumkan.

Untuk memilih Paus baru, diperlukan dukungan dua pertiga suara. Jika jumlah tersebut belum tercapai, surat-surat suara akan dilubangi dengan jarum dan benang, lalu diikat, diletakkan di atas nampan, dan pemungutan suara berikutnya dipersiapkan.

Di akhir setiap sesi pemungutan suara, surat suara yang telah dilubangi dibakar dalam tungku silinder, dengan tambahan bahan kimia tertentu untuk menghasilkan warna asap yang sesuai.

Jika asap hitam keluar dari cerobong Kapel Sistina, itu menandakan belum ada Paus yang terpilih. Namun jika asap putih mengepul, berarti seorang Paus baru telah terpilih.

Dalam minggu-minggu menjelang Konklaf, para penjahit Vatikan mulai bekerja membuat tiga jubah Paus berukuran kecil, sedang, dan besar. Paus baru tersebut dibawa ke Ruang Air Mata yang berdekatan dengan Kapel Sistina, tempat ia mengenakan jubah putih dan sandal merah barunya.

Paus tersebut kemudian diperkenalkan dari balkon di atas Lapangan Santo Petrus dengan ucapan “Habemus papam,” yang berarti “Kita memiliki Paus,” lalu ia muncul untuk memberikan berkat pertamanya.

Siapa yang Bisa Menjadi Paus Baru?

Meskipun proses konklaf berlangsung secara tertutup, berbagai spekulasi tetap bermunculan mengenai siapa yang akan menjadi Paus berikutnya.

Karena Paus Fransiskus telah menunjuk 108 dari kardinal yang memiliki hak suara, ada kemungkinan besar Paus yang terpilih nantinya akan memiliki pandangan dan nilai-nilai yang serupa dengannya.

Namun, tak menutup kemungkinan akan terjadi perubahan arah, sebagaimana perubahan politik yang terjadi di banyak negara demokrasi dalam beberapa tahun terakhir, hal serupa bisa saja terjadi dalam konklaf.

“Saya rasa para kardinal pasti mempertimbangkan bahwa mereka akan memilih seorang Paus yang akan memimpin di dunia politik yang baru,” ujar Locklin.

“Mereka mungkin mencari sosok yang bisa memberikan stabilitas. Bisa juga mereka mencari suara kenabian. Bisa dibayangkan bahwa para kardinal akan melihat situasi dunia dan bertanya, ‘Siapa Paus yang dibutuhkan dunia saat ini, dan kita harus berusaha sebaik mungkin,’ sambil meyakini bahwa pada akhirnya Roh Kuduslah yang akan menentukan pilihan, tetapi tetap diperlukan seseorang yang bisa menjalankan tugas itu,” ujar Locklin.

Meskipun secara teknis setiap pria Katolik Roma yang telah dibaptis memenuhi syarat untuk menjadi Paus, kenyataannya sejauh ini hanya kardinal yang pernah terpilih.

Menurut laporan The Associated Press, beberapa nama yang disebut berpeluang menjadi Paus baru antara lain Kardinal Pietro Parolin dan Matteo Zuppi dari Italia, Marc Ouellet dari Kanada, Christoph Schoenborn dari Austria, serta Luis Tagle.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 22 Apr 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 23 Apr 2025