Jumat, 06 November 2020 17:51 WIB
Penulis:Kusumawati
Ariyanto menunjukkan proses produksi Groempyang. Bahan bakunya kacang tanah, jahe, gula jawa dan gula pasir. Untuk membuat ampyang original, kacang yang sudah dibersihkan dan dikeringkan kemudian dimasak dengan jahe yang sudah dihaluskan. Langkah selanjutnya mendinginkannya usai dicetak bundar-bundar kecil.
Groempyang dikemas ukuran 250 gram, 350 gram dan 1 kg dengan kemasan toples dan ziplock. Pemasarannnya dari semula dropship hingga ke marketplace. Ia mengatakan harga Groempyang lebih mahal dibanding ampyang di pasar yang dijual kiloan. Dengan kemasan eklusif dan penyajiannya di warung milenial, ia memastikan harganya pantas.
Pedagang ampyang di pasar paling ambil untung Rp1.000-Rp3.000 per kilogram. Tapi Grompyang ambil untung lebih. "Untuk ongkos produksi Rp20.000-Rp30.000, saya jual Rp35.000," katanya.
Berbekal pengalaman, ia mulai melakoni usaha ini sejak April 2019. Selama beberapa bulan hingga Januari 2020, penjualan Groempyang terhitung menguntungkan. Omzet bisa mencapai Rp10 juta per bulan. Untuk ukuran UKM pemula, angka tersebut cukup bagus
Sayangnya pandemi Covid-19 memukul mundur bisnis UKM termasuk Groempyang. Dari semula mempekerjakan enam orang, kini hanya dua saja. Di masa pemulihan, ia mulai bangkit dan menjajaki berbagai kemungkinan. Di paket pesanan diisi pula berbagai produk UKM selain Groempyang, bikinan para tetangganya. Kiriman tertuju berbagai wilayah di Indonesia seperti Sulawesi, Jabodetabek dan Surabaya.
Ariyanto mengatakan ampyang tetap diminati dimasa pandemi. Apalagi citarasanya pas dipadukan dengan kopi. Selain itu, ampyang unik dari citarasa dan kearifan lokal.
Bagikan