Korea Selatan
Jumat, 14 Februari 2025 18:25 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Media sosial belakangan ini diramaikan oleh pernyataan Abidzar Al Ghifari yang mengungkapkan bahwa ia tidak menonton drama Korea A Business Proposal, meskipun terlibat dalam versi remakenya. Dalam sebuah video promosi yang beredar, Abidzar menjelaskan bahwa keputusannya tersebut bertujuan agar ia bisa membangun karakter sendiri tanpa terpengaruh oleh versi asli.
"Aku sempat menonton episode pertama, tapi akhirnya memutuskan berhenti karena karakter ini akan aku bangun sendiri bersama sutradara," ujar Abidzar dalam konferensi pers baru-baru ini.
Pernyataannya tersebut memicu perdebatan dan kritik dari warganet. Banyak yang menilai sikapnya kurang profesional, mengingat film yang dibintanginya merupakan adaptasi dari karya yang sudah lebih dulu populer, sehingga seharusnya tetap menghormati versi aslinya.
“Cukup beban (berperan sebagai Kang Tae Moo di film adaptasi), ditambah juga tau lah ya fans fanatiknya seperti apa, dan kami pun menghargai itu (ekspektasi),” ucapnya dalam podcast On Off, Rabu, 22 Januari 2025.
Pernyataan tersebut semakin memperkeruh situasi, memicu banyak netizen di media sosial untuk menyerukan boikot terhadap film yang dijadwalkan rilis pada Kamis, 6 Februari 2025.
Bahkan, Abidzar menantang publik untuk tidak menonton film yang sedang ia promosikan jika mereka tidak menyukainya. “Nggak usah nonton, masih ada banyak orang lain selain kamu (yang mau nonton),” imbuhnya.
Dalam situs film IMDb, menurut pantauan TrenAsia, Senin, 10 Februari 2025, film yang dibintangi Abidzar, Ariel Tatum, Caitlin Halderman dan Ardhito Pramono itu mendapat rating 1/10. Hal ini berbanding terbalik dengan drama Korea yang pertama kalia dirilis pada 2022 yang justru mendapat sorotan. Di mana, drama yang dibintangi Ahn Hyo Seop dan Kim Se Jeong melonjak ke peringkat ke-8 Netflix Indonesia.
Dilansir dari Britannica, istilah cancel culture (juga dikenal sebagai callout culture) pertama kali digunakan pada tahun 2016 dan merujuk pada tindakan tindakan menghentikan dukungan terhadap individu, kelompok, organisasi, atau perusahaan karena pendapat atau tindakan mereka dianggap tidak pantas oleh sebagian orang.
Proses canceling ini umumnya dilakukan dengan cara memboikot karya atau aktivitas mereka sebagai bentuk sanksi sosial.
Dalam dunia hiburan, cancel culture merujuk pada tindakan penolakan atau pembatalan yang dilakukan setelah seorang selebriti melakukan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku, yang dianggap tidak pantas oleh publik.
Dilansir dari Jurnal dengan judul “Fenomena Cancle Culture di Indonesia: Sebuah Tinjauan Literatur,” cancel culture telah menjadi istilah yang populer.
Ketika seorang selebritas atau figur publik melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap menyinggung, muncul gerakan penolakan terhadap mereka. Fenomena ini sering kali berujung pada berakhirnya karier mereka atau meruntuhkan reputasi mereka, baik melalui boikot maupun tindakan pendisiplinan.
Romano (2020), dalam artikelnya di Vox, menjelaskan bahwa proses penolakan ini juga bertujuan untuk menuntut akuntabilitas. Jika upaya tersebut tidak berhasil, maka boikot menjadi alternatif lain yang digunakan sebagai sarana untuk menciptakan keadilan sosial.
Menghentikan karier seorang figur publik melalui cancel culture bukanlah hal yang mudah. Beberapa dari mereka memang mendapat kritik dan penilaian negatif, tetapi tidak semuanya mengalami kehancuran karier secara total akibat gerakan tersebut.
Dalam konteks cancel culture, media sosial berperan sebagai wadah untuk menyebarkan gerakan atau isu tersebut, yang kemudian memicu tindakan nyata dari pengguna lainnya.
Biasanya, cancel culture ditujukan pada figur publik seperti selebritas, politisi, atau influencer.
Fenomena ini kerap bermula di media sosial, di mana seseorang atau suatu pihak dipermalukan secara publik (called out). Setelah itu, muncul kampanye untuk menghentikan apresiasi, kerja sama, atau dukungan terhadap individu yang dianggap telah berperilaku atau bertindak tidak pantas.
Cancel culture bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban, tetapi di sisi lain, fenomena ini juga dapat berkembang menjadi hukuman sosial yang berlebihan tanpa memberi kesempatan bagi seseorang untuk belajar atau memperbaiki kesalahannya.
Masyarakat Korea masih menerapkan budaya mengisolasi atau menolak selebritas yang dianggap melakukan tindakan tidak pantas menurut pandangan publik.
Banyak selebriti Korea menghadapi kecaman akibat perilaku mereka yang memicu kontroversi di kalangan masyarakat.
Bentuk cancel culture yang dialami beragam, mulai dari pengurangan adegan dalam drama, berkurangnya jumlah penggemar, pencabutan peran, hingga boikot.
Para artis Korea Selatan sangat hati-hati setiap tindakan mereka yang berhubungan dengan publik. Hal ini dilakukan untuk menghindari cancel culture, yang dapat menimpa mereka kapan saja jika melakukan kesalahan. Satu kesalahan kecil saja bisa menghancurkan karier yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.
Industri media Korea Selatan sangat kompetitif dan kejam. Industri ini memiliki standar tinggi bagi siapa pun yang ingin tetap berada di lapangan. Skandal sederhana, terverifikasi atau tidak, pencemaran nama baik dapat menghancurkan karier seseorang.
Kim Sae Ron adalah mantan artis cilik yang sudah menjadi aktris dewasa dan telah membintangi beberapa drama. Pada tahun 2022, rekaman CCTV beredar yang memperlihatkan dirinya mengemudi dalam keadaan mabuk hingga menabrak fasilitas umum.
Menyetir dalam kondisi mabuk, atau driving under influence, merupakan isu yang sangat sensitif di Korea Selatan dan dianggap sebagai pelanggaran hukum serius karena membahayakan orang lain.
Akibat insiden tersebut, Kim Sae Ron langsung terkena cancel culture. Namun, alih-alih menunjukkan penyesalan, ia justru dikabarkan berpesta minuman keras bersama teman-temannya setelah kejadian itu, yang semakin memicu kemarahan netizen Korea.
Akibatnya, setiap tindakan Kim Sae Ron selalu mendapat kecaman dari netizen Korea. Bahkan, setiap pernyataan yang disampaikan oleh pihaknya tidak dipercaya oleh publik dan terus ditelusuri hingga ke akar permasalahan.
Di sisi lain, dalam film Dark Nuns, Song Hye Kyo berperan sebagai Sister Unia, seorang biarawati yang rela melakukan apa pun, termasuk menggunakan cara-cara terlarang, demi menyelamatkan anak tersebut dari bahaya.
Saat konferensi pers, Song Hye Kyo mengungkapkan, “Saya sangat gugup. Saya telah bekerja keras untuk film ini, jadi saya berharap mendapatkan respons yang baik.”
Dilansir dari Allkpop, ia melanjutkan, “Ini pertama kalinya saya berakting dengan merokok. Saya sempat merasa ragu. Karena saya bukan perokok, saya tidak yakin bagaimana melakukannya. Namun, ketika saya memikirkan karakter Sister Unia, saya menyadari bahwa merokok adalah bagian penting dari perannya.”
Song Hye Kyo juga mengungkapkan, “Meskipun bukan hal yang baik, sekitar enam bulan sebelum syuting dimulai, saya mulai berlatih merokok. Adegan pertama dimulai dengan merokok dan diambil dalam close-up, jadi saya tidak ingin berpura-pura. Selama proses syuting, saya banyak berlatih, tidak hanya untuk akting tetapi juga untuk merokok.”
Tak perlu jauh-jauh dengan bagaimana profesionalnya artis Korea dalam memainkan peran. Untuk mendalami peran sebagai Gepeng Srimulat, Aktor Indonesia Bio One rela menjalani berbagai transformasi fisik, termasuk memotong rambutnya dan menjalani diet ketat, agar dapat lebih menyerupai sosok komedian legendaris tersebut.
Untuk bisa tampil mirip dengan mendiang Gepeng, Bio One harus menurunkan berat badannya hingga 10 kilogram. Karena itu, ia menjalani diet ketat demi mendapatkan postur tubuh yang sesuai dengan karakter aslinya.
Selain Bio One, ada juga Dian Sastrowardoyo dalam serial Gadis Kretek yang tayang di Netflix.
Dian mendalami peran Dasiyah dengan menjalani kehidupan seperti karakter tersebut di dunia nyata. Ia mengisolasi diri dari pergaulan sehari-hari untuk merasakan kesepian yang dialami Dasiyah. Bahkan, Dian menghentikan berbagai kebiasaan rutinnya, termasuk berolahraga, karena merasa hal itu tidak sesuai dengan karakter yang diperankannya.
Dian mengungkapkan ia menjalani kehidupan yang terisolasi selama enam bulan demi mendalami peran Dasiyah. Selama itu, ia tidak bertemu dengan teman-temannya dan lebih banyak menghabiskan waktu sendirian di dalam kamar, menulis dengan tangan seperti yang dilakukan karakter Dasiyah.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 11 Feb 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 14 Feb 2025
Bagikan
rekomendasi
2 hari yang lalu