Citra Hijau Palsu Proyek China, Begini Temuan di Lapangan

Jumat, 08 Agustus 2025 18:35 WIB

Penulis:Redaksi Daerah

Editor:Redaksi Daerah

Menguak Sisi Gelap Proyek China di Tanah Air, Citra Ramah Lingkungan Ternyata Palsu
Menguak Sisi Gelap Proyek China di Tanah Air, Citra Ramah Lingkungan Ternyata Palsu

JAKARTA - Riset Behind The Green Curtain yang dirilis Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menemukan bahwa praktik greenwashing masih menjadi masalah besar dalam investasi China di Indonesia, terutama di sektor industri ekstraktif dan manufaktur.

Meski istilah keberlanjutan dan ESG (Environmental, Social, and Governance) kerap digaungkan, temuan CELIOS menunjukkan bahwa penerapan ESG oleh banyak perusahaan masih sebatas tampilan luar dan belum mencerminkan komitmen nyata pada keberlanjutan.

“Mungkin yang disampaikan benar bahwa mereka melakukan CSR (corporate social responsibility) tapi ada aspek lain atau dampak lain yang tidak disampaikan,” jelas Direktur Meja Cina-Indonesia CELIOS, Zulfikar Rakhmat, kala diskusi daring, di Jakarta, dikutip Kamis, 8 Agustus 2025.

Perusahaan besar seperti PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) secara aktif mempromosikan citra hijau melalui program CSR, laporan keberlanjutan, serta kampanye media yang menekankan kepatuhan terhadap prinsip ESG. 

Hasil riset CELIOS menunjukkan bahwa di balik narasi tersebut, banyak dampak lingkungan dan sosial yang disembunyikan. Salah satu contohnya adalah kapasitas fasilitas kesehatan di kawasan industri Morowali yang hanya mampu melayani 2.000 pekerja, padahal jumlah tenaga kerja mencapai ratusan ribu. 

Di sisi lain, terdapat pelanggaran terhadap izin AMDAL, seperti ekspansi kawasan industri tanpa revisi izin lingkungan yang sesuai. Eksploitasi wilayah-wilayah kecil seperti Pulau Wawonii dan Pulau Obi juga dinilai melanggar regulasi nasional mengenai perlindungan wilayah pulau kecil.

Baca juga : Shein dan Maraknya Greenwashing di Dunia Fast Fashion

Narasi Terkoordinasi, Verifikasi Lemah

Salah satu pola yang diidentifikasi CELIOS adalah adanya narasi hijau yang dibangun secara terkoordinasi oleh pejabat China, perusahaan investor, dan influencer lokal. Citra bahwa Belt and Road Initiative (BRI) merupakan proyek pembangunan ramah lingkungan secara aktif disebarkan melalui media sosial dan diperkuat oleh media nasional yang kerap mengutip klaim tersebut tanpa verifikasi langsung ke lapangan. 

Bahkan, beberapa perusahaan disebut menciptakan bentuk legitimasi palsu melalui sertifikasi ESG mandiri yang tidak melalui proses audit independen. Menurut CELIOS, lemahnya pengawasan ESG di Indonesia membuka celah bagi manipulasi laporan keberlanjutan secara sistematis. 

Studi juga menyoroti absennya standar ESG nasional yang komprehensif di Indonesia, yang membuat perusahaan-perusahaan asing, termasuk dari China, hanya menjalankan kepatuhan formalitas. 

Banyak dari mereka menyusun laporan berbahasa Inggris dan menggunakan istilah teknokratis, tetapi tidak menunjukkan langkah konkret di lapangan. Pemerintah juga dinilai lebih fokus pada pencapaian target investasi ketimbang penegakan regulasi lingkungan. 

Sebagai contoh, pencabutan sanksi terhadap PT IMIP meskipun terbukti melakukan pelanggaran lingkungan menjadi preseden buruk. CELIOS mencatat bahwa 34% perusahaan asal China yang beroperasi di Indonesia melakukan expressive manipulation dalam laporan ESG mereka, yaitu menyampaikan narasi yang terdengar positif tanpa diikuti oleh bukti konkret implementasi di lapangan.

Indonesia Tertinggal

Sementara itu, secara global, banyak negara mulai menunjukkan tren positif dalam pengurangan kasus greenwashing. Laporan RepRisk tahun 2024 mencatat penurunan 12% secara global, dan bahkan mencapai 20% di Uni Eropa setelah diberlakukannya Green Claims Directive

Sebaliknya, di Indonesia dan Amerika Serikat, jumlah kasus greenwashing berisiko tinggi justru meningkat 30%, terutama akibat semakin canggihnya metode manipulasi data yang melibatkan teknologi seperti AI. 

Negara-negara tetangga mulai mengambil langkah serius. Singapura, misalnya, mengembangkan Singapore-Asia Taxonomy yang mengklasifikasikan proyek hijau dan transisi, serta mewajibkan pelaporan iklim bagi perusahaan besar sejak 2025. China pun menerbitkan pedoman pelaporan ESG untuk bursa saham, tetapi efektivitasnya masih dipertanyakan karena minimnya sanksi terhadap pelanggaran.

Dalam menghadapi eskalasi greenwashing, CELIOS menilai bahwa pemanfaatan teknologi berbasis AI bisa menjadi solusi efektif. Model seperti MacBERT, yang dikembangkan di China, mampu mendeteksi ketidaksesuaian antara klaim dan data dalam laporan keberlanjutan dengan akurasi hingga 89%. 

Baca juga : Greenwashing: Strategi Pencitraan Hijau yang Menyesatkan

CELIOS mendorong agar Indonesia segera mengadopsi sistem serupa, termasuk mewajibkan audit ESG independen terhadap seluruh investasi asing, terutama dari proyek-proyek yang masuk dalam inisiatif BRI. 

Selain itu, CELIOS juga merekomendasikan penerapan Single Submission System, yakni sistem terintegrasi yang menggabungkan data lingkungan, ketenagakerjaan, dan perpajakan untuk memungkinkan pengawasan proyek dilakukan secara real-time dan transparan.

Dibandingkan negara-negara Asia lainnya, posisi Indonesia dalam hal pengawasan ESG masih tertinggal. Dalam studi komparatif CELIOS, Indonesia hanya memperoleh dua bintang karena penegakan hukumnya yang lemah dan masih terbatas pada AMDAL serta UU Cipta Kerja. 

Sementara itu, Singapura memperoleh empat bintang berkat penerapan taxonomy ESG yang jelas dan kewajiban disclosure. Hong Kong dinilai sedang, dengan tiga bintang karena keberhasilan skema obligasi hijau dan adopsi standar ISSB. China, meskipun aktif menerbitkan pedoman, tetap dinilai variatif tergantung pada kebijakan masing-masing provinsi.

Rekomendasi CELIOS

Untuk memperbaiki situasi, CELIOS mengajukan empat rekomendasi utama. Pertama, membentuk sistem pemantauan hybrid yang menggabungkan kecanggihan AI dan tim verifikasi independen yang terdiri dari LSM, akademisi, dan perwakilan pemerintah seperti Bappenas. 

Kedua, menerapkan regulasi transisi berkeadilan dengan pendekatan klasifikasi proyek, sehingga perbedaan antara proyek hijau dan proyek transisi menjadi jelas dan terukur. 

Ketiga, memanfaatkan skema pendanaan internasional seperti UE–ASEAN Green and Sustainable Finance Grant Scheme untuk membiayai pelatihan SDM dalam pengawasan ESG. 

Keempat, menjatuhkan sanksi global berupa pembatasan akses pasar modal bagi perusahaan yang terbukti melakukan greenwashing, sejalan dengan praktik screening yang diterapkan Uni Eropa.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 08 Aug 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 08 Agt 2025