Tantangan Baru bagi RI Jika Memutuskan Gabung dengan BRICS di Masa Trump

Redaksi Daerah - Senin, 11 November 2024 10:01 WIB
Kenali Peluang dan Tantangan yang Dihadapi RI Jika Bergabung dengan BRICS di Era Trump undefined

JAKARTA - Donald Trump yang kini berhasil memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat diprediksi akan membawa dampak signifikan bagi dinamika politik global. Visi Trump yang cenderung proteksionis dan berfokus pada slogan “America First” berimplikasi pada hubungan internasional, terutama dengan negara-negara berkembang.

Kebijakan-kebijakannya cenderung mementingkan kepentingan nasional Amerika Serikat di atas aliansi tradisional dan perjanjian internasional, seperti yang terlihat dalam keputusan untuk menarik diri dari berbagai organisasi multilateral dan perjanjian perdagangan.

"Apa yang akan Anda lihat adalah kebijakan 'America First' yang akan jauh lebih matang daripada sebelumnya, jauh lebih kuat," jelas Steven Okun, penasihat senior di konsultan urusan publik APAC Advisors, dilansir CNA, Jumat, 8 November 2024. Akibatnya, negara-negara berkembang harus menyesuaikan diri dengan pendekatan AS yang lebih selektif dalam hubungan dagang dan kebijakan luar negerinya.

Beberapa negara yang selama ini bergantung pada perdagangan atau bantuan AS menghadapi ketidakpastian, sehingga mendorong mereka mencari mitra baru atau memperkuat kerja sama regional untuk mengimbangi potensi kerugian.

“Agenda “America First” melibatkan penerapan tarif hukuman pada produk-produk tertentu seperti baja dan aluminium, dan pada seluruh negara terutama dengan China” tambah Steven.

Di sisi lain, pendekatan ini juga membuka peluang bagi negara-negara besar lainnya, seperti China, untuk memperluas pengaruh mereka di kawasan yang sebelumnya lebih banyak dipengaruhi oleh AS.

Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kini mempertimbangkan BRICS sebagai peluang strategis untuk mencari keseimbangan dalam sistem ekonomi global yang didominasi Barat.

BRICS, yang beranggotakan Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, telah lama disebut sebagai aliansi ekonomi yang berusaha menciptakan tatanan dunia yang lebih adil.

Di tengah dinamika hubungan AS dan Barat, BRICS memberi jalan alternatif bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk terlepas dari dominasi ekonomi tradisional.

Kolaborasi dengan BRICS dapat memungkinkan Indonesia mengakses peluang ekonomi baru tanpa harus sepenuhnya bergantung pada kebijakan-kebijakan ekonomi negara-negara Barat.

“Jadi kita ambil keputusan atau kita melihat bahwa saya kira Indonesia perlu juga punya kehadiran di tempat itu. Supaya kita baik di semua tempat lah,” terang Presiden Prabowo Subianto dalam sebuah wawancara, di Jakarta.

Bergabung dengan BRICS berarti Indonesia bisa memperluas pasar ekspornya, mengurangi ketergantungan pada pasar Barat yang sering kali fluktuatif akibat dinamika geopolitik. “Indonesia ini kan tidak boleh ikut blok-blokan, tapi kita mau berada di mana-mana,” tambah Prabowo.

Sebagai contoh, melalui kemitraan dengan negara-negara BRICS, Indonesia dapat mempromosikan produk unggulan, seperti minyak kelapa sawit, kopi, dan hasil manufaktur, pada populasi besar di negara-negara anggota BRICS.

Akses ke pasar-pasar ini diharapkan bisa memberikan stabilitas lebih baik dibanding pasar yang bergantung pada AS atau Eropa.

Tantangan dan Peluang dalam BRICS

BRICS menjadi sumber potensial investasi infrastruktur bagi Indonesia. Misalnya, China dan India, dua negara dengan ekonomi besar, memiliki komitmen tinggi dalam mendukung pembangunan di negara-negara berkembang.

Dengan keterlibatan mereka, Indonesia berpeluang mendapatkan suntikan investasi yang besar untuk pembangunan infrastruktur vital, seperti jalan raya, pelabuhan, dan transportasi. Hal ini akan berkontribusi pada pengembangan ekonomi domestik, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan daya saing Indonesia di tingkat global.

Salah satu keuntungan lain dari bergabungnya Indonesia dengan BRICS adalah peluang kerja sama dalam bidang teknologi dan inovasi. Dengan semakin berkembangnya teknologi di negara-negara BRICS, Indonesia bisa mengakses pengetahuan dan teknologi terbaru, khususnya di bidang kecerdasan buatan (AI), manufaktur, dan energi terbarukan.

Ini akan membantu Indonesia dalam proses akselerasi teknologi dan transformasi industri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih modern dan berkelanjutan. Ketahanan pangan dan energi menjadi prioritas utama bagi Indonesia, terutama di tengah ancaman ketidakpastian global.

Dengan BRICS, Indonesia berpeluang mengamankan sumber daya ini melalui kerja sama investasi di sektor pangan dan energi. Teknologi dan pengalaman negara-negara BRICS dalam mengembangkan energi terbarukan dan memanfaatkan sumber daya alam secara efisien dapat membantu Indonesia mencapai kemandirian di sektor-sektor vital ini.

Meski banyak peluang yang menggiurkan, Indonesia juga harus menghadapi tantangan serius bila memutuskan untuk lebih dalam terlibat dengan aliansi alternatif atau memperkuat kemitraan dengan negara-negara besar lainnya di luar Amerika Serikat.

Di bawah kepemimpinan Donald Trump, yang kerap menunjukkan kecenderungan proteksionis dan skeptis terhadap keterlibatan internasional yang melibatkan negara-negara berkembang, hubungan Indonesia-AS bisa saja mengalami ketegangan.

Kebijakan "America First" Trump yang sering kali mementingkan kepentingan ekonomi AS dan menekan negara-negara mitra untuk memberikan keuntungan lebih besar bagi AS dapat membuatnya tidak senang dengan keputusan Indonesia yang terlihat mendekati aliansi lain.

Hal itu terutama bila aliansi tersebut melibatkan China atau kekuatan ekonomi besar lainnya yang menjadi pesaing AS. “Negara-negara yang memiliki surplus perdagangan besar dengan AS, kali ini akan diperlakukan sangat berbeda oleh Trump,” tambah Steven.

Indonesia harus berhati-hati dalam menjaga keseimbangan politik dan ekonomi antara kekuatan global, agar tidak kehilangan akses ke pasar AS atau bantuan ekonomi dari negara tersebut. Amerika Serikat, di bawah Trump, berpotensi memberikan sanksi atau menarik investasi sebagai cara untuk menekan negara-negara yang dianggap tidak sejalan dengan visinya.

"AS masih terlalu tangguh untuk diimbangi oleh BRICS. RI boleh-boleh saja mendekat kepada BRICS tapi tetap jaga keseimbangan relasinya dengan AS dkk juga," terang Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Fredy Buhama Lumban Tobing.

Selain itu beberapa negara anggota BRICS, seperti China dan India, memiliki kapasitas industri yang jauh lebih kuat. Jika tidak memiliki strategi yang tepat, Indonesia berisiko menjadi sekadar pasar konsumsi bagi produk dari negara-negara tersebut.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mengatur kebijakan industri yang kuat agar dapat bersaing dan memperoleh manfaat yang seimbang dalam kerjasama ini. Di tengah terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS, keberadaan BRICS semakin relevan bagi Indonesia.

Dengan memanfaatkan peluang-peluang di BRICS, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperkuat perekonomian nasional melalui kolaborasi internasional yang lebih seimbang dan berkelanjutan.

Dalam aliansi ini, Indonesia bukan hanya akan mendapat keuntungan ekonomi, tetapi juga memperkokoh identitasnya di dunia internasional, memperkuat posisi tawarnya, dan meningkatkan daya saing di kancah global.

Pada akhirnya, keterlibatan Indonesia dalam BRICS bukan hanya sekadar langkah ekonomi, melainkan juga bagian dari upaya membangun masa depan yang lebih inklusif dan berkeadilan di tengah dominasi kekuatan ekonomi Barat.

BRICS memberi ruang bagi Indonesia untuk tumbuh bersama negara-negara berkembang lainnya, menjaga keseimbangan, serta membangun ketahanan ekonomi dan kedaulatan bangsa.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 11 Nov 2024

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 11 Nov 2024

Editor: Redaksi Daerah

RELATED NEWS