Nakba Palestina: Dari Sejarah Kelam Jadi Identitas Bangsa

Redaksi Daerah - Rabu, 24 September 2025 15:59 WIB
Menolak Lupa Tragedi Nakba Palestina, Luka Kolektif yang Bentuk Identitas Bangsa

JAKARTA —Nakba, yang dalam bahasa Arab berarti "bencana", merujuk pada pengusiran dan perpindahan paksa massal rakyat Palestina ketika Israel berdiri pada 1948.

Bagi orang Palestina, Nakba bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan luka kolektif yang diwariskan lintas generasi. Tragedi ini menggambarkan hilangnya tanah, rumah, budaya, hingga cara hidup yang sudah mengakar selama ratusan tahun. Karena itu, Nakba tidak hanya dipandang sebagai tragedi masa lampau, tetapi juga pengalaman bersama yang terus membentuk identitas nasional Palestina hingga kini.

Menurut Encyclopaedia Britannica (23 September 2025), peristiwa Nakba terutama terjadi pada periode 1947–1949, saat Timur Tengah dilanda gejolak politik besar. Namun, akarnya sudah terlihat sejak akhir abad ke-19, ketika gerakan Zionisme politik lahir dengan tujuan mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina.

Dukungan dari kekuatan kolonial, terutama Inggris lewat Deklarasi Balfour 1917, mempercepat proses ini. Pada masa Mandat Britania (1920–1947), arus imigrasi Yahudi meningkat tajam, mengubah struktur demografi Palestina. Kebijakan tanah yang menguntungkan kaum pendatang memicu keresahan mendalam, hingga melahirkan pemberontakan besar masyarakat Arab Palestina pada 1936–1939 yang ditumpas dengan brutal.

Puncak ketegangan terjadi ketika PBB mengeluarkan Resolusi 181 pada November 1947. Rencana tersebut membagi Palestina menjadi dua negara, dengan alokasi 55% wilayah untuk negara Yahudi, padahal populasi Yahudi hanya 33% dan kepemilikan tanah mereka kurang dari 7%. Bagi rakyat Palestina, keputusan ini dipandang sebagai ketidakadilan internasional sekaligus pengabaian hak menentukan nasib sendiri.

Penolakan itulah yang memicu konflik terbuka. Milisi Zionis kemudian melancarkan operasi militer untuk merebut wilayah, bahkan melampaui batas yang ditentukan PBB.

Taktik dan Operasi di Lapangan

Untuk merealisasikan pendirian negara, milisi Zionis menerapkan strategi militer dan psikologis yang sistematis. Salah satunya adalah Operasi Dalet, yang bertujuan merebut wilayah dengan cara mengusir penduduk Arab Palestina.

Tragedi paling dikenal adalah pembantaian di Deir Yassin, yang menewaskan lebih dari 100 warga sipil. Kekerasan semacam ini menimbulkan ketakutan massal, memicu eksodus besar-besaran. Ratusan desa dihancurkan, rumah dibakar, dan lahan pertanian dirusak agar penduduk tidak dapat kembali.

Akibatnya, lebih dari 750.000 warga Palestina terpaksa mengungsi ke Yordania, Lebanon, Suriah, dan negara lain. Kini, jumlah mereka beserta keturunannya telah mencapai lebih dari 5 juta orang, sebagian besar masih hidup di kamp pengungsian dengan kondisi terbatas. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menjadi penopang utama, meski kerap menghadapi pemotongan dana.

Bagi rakyat Palestina, Nakba tidak berhenti pada 1948. Tragedi itu berlanjut lewat pendudukan Israel atas Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza pada 1967 yang dikenal sebagai Naksa atau “kemunduran.”

Hingga kini, pembangunan permukiman ilegal, blokade ekonomi, serta operasi militer di Palestina menjadi bukti bahwa Nakba adalah proses berkelanjutan. Penolakan Israel terhadap hak kembali pengungsi terus memperpanjang luka sejarah ini, menjadikannya sumber konflik permanen di Timur Tengah.

Memori dan Identitas yang Terus Hidup

Setiap 15 Mei, sehari setelah Israel merayakan kemerdekaannya, bangsa Palestina memperingati Hari Nakba. Peringatan dilakukan melalui doa bersama, unjuk rasa, dan simbol-simbol seperti kunci rumah yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai lambang hak untuk kembali.

Pada 2023, PBB untuk pertama kalinya secara resmi memperingati Hari Nakba, menandai pengakuan global atas tragedi kemanusiaan tersebut.

Bagi bangsa Palestina, Nakba bukan hanya soal kehilangan tanah, tetapi juga martabat dan hak untuk hidup bebas di tanah leluhur. Rasa kehilangan itu diwariskan antar generasi, membentuk narasi kolektif yang mempersatukan mereka dalam perjuangan politik, budaya, dan diplomasi internasional.

Dari kamp pengungsi di Lebanon hingga komunitas diaspora di Eropa dan Amerika, memori Nakba tetap hidup. Ia menjadi bahan bakar perjuangan Palestina hingga kini—sebuah kisah panjang tentang kehilangan, ketahanan, dan perlawanan yang belum usai.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 23 Sep 2025

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 24 Sep 2025

Editor: Redaksi Daerah

RELATED NEWS