Momentum Pemilu 2024 Dinilai Bisa Jadi Katalis untuk Transisi Menuju Ekonomi Hijau
JAKARTA—Organisasi lingkungan Greenpeace menilai momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dapat menjadi sebuah katalis untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau. Hal tersebut dapat terwujud dengan syarat adanya komitmen politik untuk mengimplementasikan transformasi dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi berkelanjutan.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan krisis iklim yang timbul akibat ketergantungan Indonesia dan dunia terhadap industri ekstraktif semakin memperparah dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Oleh karena itu, pihaknya berharap Pemilu 2024 dapat digunakan sebagai sarana mempercepat transisi ekonomi hijau di Indonesia. “Perlu komitmen politik yang kuat dari pemerintah serta calon presiden dan wakil presiden agar Indonesia mampu mengurangi ketergantungannya terhadap industri ekstraktif dan segera mengimplementasikan peralihan ke ekonomi hijau,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip Rabu, 17 Januari 2024.
- Begini Cara Mudah Beralih ke Jargas di Rumah
- 5 Kebiasaan yang Terbukti Mampu Ciptakan Kesuksesan dalam Bisnis dan Kehidupan
- 3 Cara Efektif Meraih Tujuan Karier Anda
Tanpa komitmen yang kuat, Leonard pesimistis impian transisi energi dapat terwujud. “Dan akhirnya masyarakat harus terus menanggung dampak krisis iklim yang semakin parah,” ujar Leonard.
Transisi menuju ekonomi hijau sendiri diproyeksi dapat memberikan dampak hingga Rp4.376 triliun ke ekonomi nasional. Peralihan ini juga diprediksi memberikan tambahan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp2.943 triliun dalam 10 tahun ke depan, setara 14,3% PDB Indonesia pada tahun 2024.
Efek berganda ekonomi hijau dari sisi PDB jauh melebihi struktur ekonomi saat ini yang masih bergantung pada sektor industri ekstraktif, salah satunya pertambangan. Hal itu diungkap Center of Economics and Law Studies (CELIOS) dan Greenpeace Indonesia dalam Policy Brief: Dampak Transisi Ekonomi Hijau terhadap Perekonomian, Pemerataan, dan Kesejahteraan Indonesia.
Studi tersebut menemukan dampak positif ekonomi hijau terhadap PDB turut meningkatkan jumlah lapangan kerja dan pendapatan pekerja. Peralihan ke ekonomi berkelanjutan diyakini mampu membuka hingga 19,4 juta lapangan kerja baru dari berbagai sektor yang berkaitan dengan pengembangan energi terbarukan, pertanian, kehutanan, perikanan dan jenis industri ramah lingkungan lain.
Industri Baru
Sementara itu, pendapatan pekerja secara total dapat bertambah hingga Rp902,2 triliun berkat transformasi tersebut. Pelaku usaha pun diuntungkan berkat munculnya berbagai industri baru di sektor ekonomi sirkular dan transisi energi. Surplus usaha nasional dari transisi ekonomi hijau diprediksi menembus Rp1.517 triliun dalam 10 tahun transisi dilakukan.
Hasil studi tersebut juga menemukan bahwa ekonomi hijau mampu mempersempit ketimpangan pendapatan antarprovinsi di Indonesia. Indeks Williamson Indonesia diperkirakan dapat turun ke angka 0,65 di tahun ke-10 transisi ekonomi hijau dari 0,74 di tahun pertama transisi.
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan perlu ada pendanaan dari pemerintah maupun swasta yang mampu mendorong pelaku usaha untuk beralih ke sektor industri berkelanjutan agar transisi ke ekonomi hijau dapat berjalan baik.
“Pemerintah bisa mengalihkan insentif fiskal di sektor bahan bakar fosil dan tambang ke sektor industri berkelanjutan, menerapkan pajak produksi batubara dan pajak windfall profit, serta mengelola dana abadi yang berasal dari pendapatan sumber daya alam (SDA),” ujar Bhima.
- Ternyata OKB Kurang Peka Terhadap Penderitaan Orang Miskin, Ini Penjelasannya
- Inilah Pro dan Kontra Bekerja dengan Anggota Keluarga
- 17 Pemimpin Negara Termuda yang Gemparkan Dunia
“Pemerintah juga harus segera menerapkan pajak karbon untuk mengurangi emisi yang ditimbulkan dari aktivitas ekonomi ekstraktif dan bahan bakar fosil,” imbuhnya.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Chrisna Chanis Cara pada 18 Jan 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 18 Jan 2024