Krisis Iklim dan Pendapatan Negara: Mana yang Terdampak Paling Parah?

Redaksi Daerah - Jumat, 19 April 2024 17:47 WIB
Krisis Iklim Disebut Mampu Pangkas Pendapatan Negara di Dunia, Siapa Paling Parah? (Freepik.com/Jcomp)

JAKARTA - Penelitian memprediksi bahwa dalam 26 tahun ke depan, pendapatan negara-negara di dunia rata-rata akan turun hampir seperlima akibat krisis iklim. Hal tersebut dapat disebabkan oleh biaya kerusakan akibat perubahan iklim yang mencapai enam kali lipat lebih tinggi daripada biaya yang dibutuhkan untuk membatasi pemanasan global.

Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Nature, kenaikan suhu, yang lebih tinggi, dan cuaca ekstrem yang lebih sering mengakibatkan bencana dan kerusakan infrastruktur yang yang dapat merugikan ekonomi negara.

Negara di dunia rata-rata akan mengalami kerugian hingga US$38 triliun atau setara Rp614 ribu triliun per tahunnya (kurs Rp16.175). Laporan penelitian ini juga menyatakan kerugian pendapatan rata-rata permanen di seluruh dunia akan mencapai 19% pada tahun 2049.

Di Amerika Serikat dan Eropa, penurunannya diperkirakan sekitar 11%, sementara di Afrika dan Asia Selatan diperkirakan mencapai 22%. Beberapa negara bahkan mengalami kerugian pendapatan yang jauh lebih tinggi dari angka tersebut.

“Ini sangat menghancurkan,” kata Leonie Wenz, ilmuwan di Institut Penelitian Dampak Iklim Potsdam dan salah satu penulis studi tersebut, dikutip dari The Guardian pada Kamis, 18 April 2024.

“Saya terbiasa dengan pekerjaan saya yang tidak memberikan dampak sosial yang baik, namun saya terkejut dengan betapa besarnya kerugian yang ditimbulkan. Dimensi ketimpangan sungguh mengejutkan.”

Pendapatan Qatar Bisa Turun 31%

Studi juga mengamati periode kedua paruh abad ini, di mana tindakan manusia masih memperburuk perubahan iklim. Para peneliti memperkirakan kerugian pendapatan rata-rata bisa mencapai lebih dari 60% pada tahun 2100.

Namun, jika emisi turun ke nol bersih pada pertengahan abad, penurunan pendapatan diperkirakan akan stabil sekitar 20% pada pertengahan abad. Pukulan ekonomi yang diprediksi ini dua kali lebih tinggi dari analisis sebelumnya. Sebagian besar penelitian sebelumnya hanya mempertimbangkan kerugian yang terkait dengan kenaikan suhu di tingkat nasional.

Sedangkan penelitian terbaru melibatkan data curah hujan dan dampak cuaca ekstrem dari 1.600 wilayah subnasional selama 40 tahun terakhir. Faktor ini penting dimasukkan karena cuaca adalah fenomena lokal daripada nasional. Studi ini juga memperhitungkan bagaimana dampak perubahan iklim cenderung berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, daripada hanya menjadi pukulan jangka pendek.

Proyeksi sebelumnya yang optimis menyatakan sebagian besar ekonomi di belahan bumi utara akan terus tumbuh. Sebaliknya, hasil penelitian baru mengatakan negara-negara seperti Jerman turun 11% Prancis turun 13%, AS turun 11% dan Inggris turun 7%.

Negara yang paling terdampak, terutama yang berada di wilayah dengan suhu panas tinggi seperti Botswana dengan penurunan 25%, Mali turun 25%, Irak turun 30%, Qatar turun 31%, Pakistan turun 26%, dan Brasil turun 21%.

“Pengurangan pendapatan yang besar diperkirakan terjadi di sebagian besar wilayah, termasuk Amerika Utara dan Eropa, dengan Asia Selatan dan Afrika yang paling terkena dampaknya,” kata Maximilian Kotz, penulis jurnal Nature.

“Hal ini disebabkan dampak perubahan iklim terhadap berbagai aspek yang relevan dengan pertumbuhan ekonomi seperti hasil pertanian, produktivitas tenaga kerja, atau infrastruktur.”

Meskipun skenario baru ini jauh lebih buruk dibandingkan sebelumnya, Kotz mengakui itu masih konservatif dan belum lengkap.

Bukan Gambaran Akhir

Wenz, penulis lainnya mengatakan, ada banyak dampak iklim yang belum dimasukkan ke dalam analisis, termasuk gelombang panas, kenaikan permukaan laut, siklon tropis, titik kritis, dan kerusakan ekosistem alam dan kesehatan manusia. Ia mengatakan faktor-faktor ini akan ditambahkan ke model masa depan.

“Kami memberikan gambaran yang lebih komprehensif namun ini bukan gambaran akhir,” kata Wenz. “Ini kemungkinan merupakan batas bawah.”

Para penulis mengatakan penelitian ini menunjukkan perlunya strategi adaptasi yang lebih kuat, khususnya di negara-negara miskin dan yang terkena dampak paling parah, untuk mengatasi perubahan hingga tahun 2050 yang sudah terkunci dalam sistem iklim.

Laporan ini juga menemukan bahwa mengurangi emisi jauh lebih murah dibandingkan tidak melakukan apa pun dan menerima dampak yang lebih parah. Pada tahun 2050, itu menghitung biaya mitigasi—misalnya, dari penghapusan fosil secara bertahap dan menggantinya dengan energi terbarukan.

Dalam transisi energi tersebut dibutuhkan sebesar US$6 triliun (Rp97 ribu triliun), yang kurang dari seperenam dari biaya kerusakan rata-rata untuk tahun itu sebesar US$38 triliun (Rp614 ribu triliun).

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 18 Apr 2024

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 19 Apr 2024

Editor: Redaksi Daerah
Bagikan

RELATED NEWS