Gaji Tinggi di Australia Menggiurkan, tapi Ada Risiko Besar di Baliknya
JAKARTA - Bagi banyak masyarakat Indonesia, Australia kerap menjadi tujuan impian untuk bekerja berkat tawaran upah tinggi dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
Fenomena ini semakin mendapat perhatian setelah munculnya tagar #KaburAjaDulu, yang mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap situasi ekonomi dan politik di Tanah Air.
Namun, di balik daya tarik tersebut, terdapat realitas pahit yang jarang terekspos: eksploitasi pekerja migran. Laporan dari Grattan Institute, sebuah lembaga think tank di Australia, mengungkap sisi kelam yang dialami para pekerja migran di negara tersebut.
- 6 Rekomendasi Drama Korea Park Bo-Young yang Wajib Ditonton, Tak Hanya Melo Movie!
- 4 Kebiasaan Buruk yang Merusak Otak Anda, Bikin Cepat Lupa!
- Cara Resmi Nonton Drama Buried Hearts, Bukan di Layarkaca21, LK21, atau LokLok!
Kisah Pilu Sajad Sanouli
Sajad Sanouli, seorang pekerja migran asal Iran, tiba di Australia dengan visa kerja sementara sepuluh tahun lalu. Ia membawa harapan untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Namun, impiannya berubah menjadi mimpi buruk. Selama bekerja, Sajad dieksploitasi oleh majikannya. Ia mengalami kerugian upah sekitar US$20.000 (Rp200 juta) karena dibayar di bawah standar dan seringkali menerima upah secara tunai tanpa bukti pembayaran resmi.
Tak hanya itu, Sajad juga diancam oleh majikannya jika berani melaporkan kondisi kerja yang tidak manusiawi ini. Kisah Sajad bukanlah kasus tunggal. Banyak pekerja migran lainnya, termasuk dari Indonesia, mengalami nasib serupa. Mereka terjebak dalam lingkaran eksploitasi karena ketidakberdayaan menghadapi sistem yang tidak adil.
"Karena tak tahu bahasa Inggris, tak punya hak, dan tak ada pilihan lain, kami akan diancam jika melapor, kami sendiri yang akan mendapat masalah. Kami tidak berhak bekerja di sini. Visa kami akan dicabut," jelas Sajad, dilansir laman Australian Broadcasting Corporation, Selasa, 19 Februari 2024.
- Revolusi Efisiensi di Industri Kesehatan dengan AI: Tingkatkan Akurasi Klaim Asuransi
- Melongok Skandal 1MDB Malaysia, Perlu jadi Pelajaran Danantara
- Apakah Sudah Telat Beli Bitcoin di Kisaran Harga US$100.000? Simak Ramalan Para Ahli
1 dari 6 Pekerja Migran Dibayar di Bawah Upah Minimum
Laporan Grattan Institute mengungkap fakta mengejutkan,1 dari 6 pekerja migran di Australia dibayar di bawah upah minimum nasional. Pekerja migran, termasuk yang berasal dari Indonesia, menjadi kelompok paling rentan karena keterbatasan bahasa, kurangnya pemahaman tentang hak-hak mereka, dan aturan visa yang ketat.
"Pekerja migran lebih rentan terhadap eksploitasi karena mereka sering berada di negara ini untuk waktu yang singkat," ungkap ekonom Grattan Institute, Brendan Coates.
Sektor pertanian dan perhotelan menjadi yang paling buruk dalam hal eksploitasi. Banyak pekerja migran di bidang ini dipaksa bekerja berjam-jam tanpa bayaran lembur, tinggal di tempat yang tidak layak, dan hidup dalam ketakutan akan deportasi jika bersuara.
"Pekerja migran lebih mungkin bekerja di industri yang pembayarannya lebih rendah seperti sektor pertanian dan perhotelan." Bredan.
Eksploitasi pekerja migran tidak hanya merugikan para pekerja, tetapi juga berdampak negatif terhadap perekonomian Australia. Upah pekerja migran yang lebih murah 40% dibandingkan pekerja lokal menciptakan ketidakseimbangan dalam pasar tenaga kerja. Hal ini menghambat kenaikan gaji pekerja formal lainnya dan menciptakan persaingan tidak sehat.
Selain itu, praktik eksploitasi ini merusak reputasi Australia sebagai negara yang ramah terhadap pekerja migran. Padahal, pekerja migran telah berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Australia, terutama di sektor-sektor yang sulit diisi oleh tenaga kerja lokal.
- Revolusi Efisiensi di Industri Kesehatan dengan AI: Tingkatkan Akurasi Klaim Asuransi
- Melongok Skandal 1MDB Malaysia, Perlu jadi Pelajaran Danantara
- Apakah Sudah Telat Beli Bitcoin di Kisaran Harga US$100.000? Simak Ramalan Para Ahli
Menyadari seriusnya masalah ini, pemerintah Australia mulai mengambil langkah reformasi. Salah satunya adalah memperbaiki aturan visa untuk memberikan perlindungan lebih bagi pekerja migran. Pemerintah juga berkomitmen untuk menegakkan hukum lebih tegas terhadap majikan yang membayar di bawah standar.
Selain itu, pemerintah berupaya mempermudah proses bagi pekerja migran untuk menuntut upah yang kurang dibayar. Langkah ini diharapkan dapat memberikan keadilan bagi pekerja migran yang selama ini menjadi korban eksploitasi.
Bagi pekerja migran seperti Sajad Sanouli, reformasi ini menjadi angin segar. Mereka berharap kebijakan baru dapat memastikan bahwa tidak ada lagi pekerja migran yang mengalami nasib seperti dirinya.
Kisah Sajad dan laporan Grattan Institute ini menjadi pengingat bahwa Australia bukanlah negeri tanpa masalah. Di balik kemilau upah tinggi dan kehidupan yang sejahtera, tersembunyi sisi gelap yang harus diwaspadai.
Bagi calon pekerja migran Indonesia, penting untuk memahami hak-hak mereka sebelum memutuskan bekerja di luar negeri. Mencari informasi resmi, memahami kontrak kerja, dan mengetahui saluran pengaduan jika terjadi masalah adalah langkah-langkah krusial untuk menghindari eksploitasi.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 19 Feb 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 20 Feb 2025