Dua Dekade Terkriminalisasi, Putusan PK Alex Denni Jadi Momentum Penting Koreksi Total Sistem Peradilan
JAKARTA - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Alex Denni menjadi angin segar bagi terciptanya sistem peradilan yang lebih baik. Dengan putusan tersebut, Deputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) periode 2021-2023 ini akhirnya memperoleh keadilan setelah menjadi korban dugaan rekayasa hukum dan kriminalisasi selama hampir dua puluh tahun.
Berdasarkan informasi dari laman resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia, perkara PK dengan nomor perkara 1091 PK/Pid.Sus/2025 tersebut telah diputus pada 23 April 2025 lalu. Bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim adalah Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto dengan dua Hakim Anggota yakni Hakim Agung Agustinus Purnomo Hadi dan Hakim Agung Jupriyadi.
“Amar putusan: PK=Kabul, Batal JJ, Adili Kembali, Bebas/Vrijspraak,” demikian keterangan yang tertera di laman resmi informasi perkara MA seperti dikutip Jumat, 16 Mei 2025.
- Kisah Sukses Desa BRILiaN di Lereng Gunung Merapi yang Berhasil Kembangkan Pariwisata Alam dan Agrikultur
- BRI Hadiahi Nasabah Setia di Program BRImo FSTVL 2024
- GoPay Tur ke 30 Kota, Gaungkan Perang Melawan Judi Online
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, pada intinya, amar putusan tersebut menjelaskan bahwa Majelis Hakim mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh Alex Denni dan membatalkan putusan Mahkamah Agung Nomor 163 K/Pid.Sus/2013 tanggal 26 Juni 2013 jo. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 166/Pid/2008/PT.BDG tanggal 20 Juni 2008 jo. Putusan Pengadilan TIndak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 1460/PID/B/2006/PN.Bdg tanggal 29 Oktober 2007.
Selain itu, Majelis Hakim di Tingkat PK juga mengadili kembali perkara tersebut dengan putusan bebas. Artinya, Alex Denni dinyatakan tidak terbukti bersalah sehingga Majelis Hakim membebaskannya dari dakwaan. "Berdasarkan informasi di laman Mahkamah Agung, status perkara sudah diputus dan saat ini sedang dalam proses minutasi," ujar Julius dalam keterangannya kepada media massa di Jakarta, Jumat, 16 Mei 2025.
Menurut Julius, dikabulkannya permohonan PK yang diajukan Alex Denni oleh Mahkamah Agung membuktikan bahwa selama ini rekayasa hukum pada perkara Alex Denni nyata adanya. Hal ini ditandai banyaknya kejanggalan yang terjadi dalam perkara Alex Denni, baik secara prosedural maupun substansial.
Secara prosedural, Julius mencontohkan, kejanggalan terletak pada putusan dan relaas yang tidak pernah disampaikan maupun komposisi majelis hakim yang melibatkan hakim militer. Sementara secara substantif, kejanggalan terlihat pada penerapan pasal 55 KUHP terkait penyertaan namun hanya terhadap satu orang saja yang notabene bukan penyelenggara negara. Berbagai kejanggalan ini menciptakan disparitas hukum yang dalam kebijakan MA dilarang.
Julius menambahkan, hasil eksaminasi PBHI dan 3 Ahli Pidana terhadap 9 Putusan berhasil membongkar kebobrokan proses peradilan hingga rekayasa putusan pengadilan, dengan satu kesimpulan bahwa kasus Alex Denni murni kriminalisasi. Dari kasus Alex Denni, terpampang secara jelas bagaimana proses peradilan justru membawa ketidakadilan, sehingga kebenaran harus diperjuangkan.
Putusan Majelis Hakim di tingkat PK yang membatalkan putusan sebelumnya juga menunjukkan bahwa selama ini memang telah terjadi kesalahan dan kekhilafan yang nyata yang dilakukan oleh Majelis Hakim di tingkat kasasi, tingkat banding, maupun tingkat pertama, Kekhilafan tersebut telah mengakibatkan peradilan sesat atau miscarriage of justice, proses hukum yang tidak adil dan menghasilkan keputusan yang salah sehingga merugikan Alex Denni.
Putusan PK yang menyatakan Alex Denni bebas (Vrijspraak) dan tidak korupsi, beserta segala temuan PBHI atas kejanggalan prosedur dan substansinya, patut menjadi momentum perbaikan sistem peradilan di bawah Mahkamah Agung hingga di level kebijakan mitigasi disparitas putusan.
"Putusan PK ini menandakan bahwa perjuangan telah membuahkan hasil. Alex Denni hanyalah satu dari jutaan korban peradilan sesat. Putusan ini sekaligus menandakan bahwa masih ada harapan bagi tegaknya keadilan di Indonesia meski kadang kala harus melibatkan partisipasi dan atensi publik," ujar Julius.
Momentum Koreksi Total
Bagi Alex Denni, keadilan bukan satu-satunya tujuan dalam pengajuan permohonan PK. Menurut Alex, yang tak kalah penting dari pengajuan permohonan PK ini adalah terciptanya koreksi total dan perbaikan dalam sistem peradilan di Indonesia.
“Awalnya saya hampir memutuskan untuk tidak mengajukan PK karena menurut saya tidak ada gunanya. Mengingat, begitu banyak peristiwa yang tidak masuk akal terjadi berkaitan dengan kasus ini,” kata Alex.
Pada 11 Juli 2024 lalu, Alex mengisahkan, dia tiba-tiba ditangkap di bandara sepulang dari bepergian ke luar negeri. Saat itu, Alex disebut-sebut masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena mangkir selama 11 tahun dari eksekusi putusan Mahkamah Agung. Padahal, Alex tidak pernah menerima relaas pemberitahuan putusan kasasi maupun salinan putusan kasasi.
“Bagaimana mungkin saya mangkir selama 11 tahun dan masuk DPO sementara pada 2013 saya berkarya di Bank Mandiri, kemudian diminta membantu transformasi dan pengembangan SDM di Bank BNI pada 2016, lalu sebagai Direktur SDM di Jasa Marga pada 2018. Pada 2020, saya diminta Pak Erick Thohir untuk menjadi Deputi SDM di Kementerian BUMN dan pada 2021 saya diminta almarhum Pak Tjahjo Kumolo untuk menjadi Deputi SDM di Kementerian PAN-RB. Jadi, sesusah apa mencari saya untuk dieksekusi kalau putusan itu memang sudah ada sejak 2013?” tutur Alex.
Alex telah menjalani hukumannya di Lapas Sukamiskin sejak pertengahan 2024 lalu. Namun, ia sejatinya telah menjadi korban kriminalisasi selama hampir 20 tahun.
Pada 2007 silam, Alex Denni bersama Direktur SDM dan Bisnis Pendukung (Niskung) PT Telkom Indonesia Tbk Agus Utoyo dan Asisten Kebijakan SDM pada Direktorat SDM Niskung Telkom Tengku Hedi Safinah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Bandung atas tindak pidana korupsi pada proyek pengadaan jasa konsultan analisis jabatan atau Proyek DJM (Distinct Job Manual) di Telkom yang dilaksanakan pada 2003-2004.
Kejanggalan dimulai ketika pemeriksaan perkara dilakukan secara terpisah pada tingkat Banding. Oleh Pengadilan Tinggi Bandung, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan dengan dasar bahwa proses pengadaan berjalan secara sah tanpa penyalahgunaan kewenangan. Namun, putusan Pengadilan Tinggi Bandung terhadap Alex Denni berbeda. Alex Denni justru dinyatakan bersalah dan menguatkan putusan tingkat pertama.
Putusan kasasi Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung untuk masing-masing terdakwa. Anehnya, perkara kasasi Alex Denni baru diputus pada 2013, lima tahun setelah putusan kasasi untuk Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah. Yang lebih aneh lagi, putusan kasasi tersebut baru dieksekusi 11 tahun kemudian.
“Dari kejadian-kejadian itu, saya awalnya merasa tidak ada harapan untuk menemukan keadilan dalam sistem peradilan kita. Namun, PBHI menyarankan saya untuk tetap mengajukan PK. Bukan sekadar untuk mendapatkan kepastian hukum atas kasus saya pribadi, namun pengajuan PK ini sebagai upaya perbaikan sistem peradilan di Indonesia,” kata Alex.
“Selain itu, saya selalu memotivasi kepada generasi muda dan murid-murid saya untuk terus berkontribusi dalam membangun bangsa. Rasanya, kok ironi sekali bagi saya kalau saya berakhir dalam sebuah keputusasaan. Itu sebabnya, saya memutuskan bersedia untuk mengajukan PK,” imbuh Alex.
Dalam kesempatan ini, Alex mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang turut membantu dalam proses pengajuan permohonan PK ini. Selain kepada PBHI yang menjadi motor penggerak advokasi pengajuan PK, Alex juga mengucapkan terima kasih kepada tiga ahli hukum pidana yang telah melakukan eksaminasi atas putusan perkara Alex Denni. Ketiganya adalah Ahli Hukum Pidana dari Universitas Pancasila Rocky Marbun, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Bina Nusantara Vidya Prahassacitta, dan Ahli Hukum Pidana dari Universitas Bina Nusantara Ahmad Sofian.
Alex juga mengucapkan terima kasih kepada Komisi III DPR RI yang telah ikut mengawasi proses PK ini. Tidak lupa, Alex mengucapkan terima kasih atas dukungan 33 tokoh masyarakat yang telah berkenan menjadi sahabat pengadilan atau amicus curiae dalam proses PK ini. “Saya juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman pers yang terus
mendukung dan mempublikasikan kasus ini secara konsisten. PK ini sekali lagi bukan hanya kepentingan saya, tetapi jutaan orang yang mungkin telah dikriminalisasi tanpa mampu memperjuangkan keadilannya,” tegas Alex.
Alex berharap, dikabulkannya putusan PK ini bisa menjadi momentum bagi perbaikan sistem peradilan dan tata kelola hukum di negeri ini. Jangan sampai muncul lagi korban-korban dari peradilan sesat yang akan merugikan masyarakat.
“Saya berharap, putusan PK ini bisa menjadi momentum bagi penegakan hukum yang lebih adil, lebih transparan, dan mekanisme pengawasan yang lebih baik supaya tidak ada lagi putusan hukum yang mengarah pada kriminalisasi. Penegakan hukum yang adil untuk seluruh golongan masyarakat akan memastikan Indonesia tetap bersatu dan menciptakan optimisme bagi setiap warga negara untuk berjuang bagi kemajuan dan Indonesia Emas yang kita impikan bersama,” pungkas Alex.