Dua Dekade Ekonomi Indonesia: Transformasi dari Era SBY ke Jokowi
JAKARTA - Dalam kurun dua puluh tahun terakhir, Indonesia kini sudah melewati dua era kepemimpinan ekonomi yang sama-sama fokus untuk menjaga pertubuhan ekonomi meski sedang menghadapi ketidakpastian global. Pada periode waktu tersebut, Indonesia ada di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan Presiden Joko Widodo (2014-2024).
Kedua presiden tersebut diketahui menerapkan beberapa metode yang berbeda dalam mengelola ekonomi nasional. SBY dikenal dengan kebijakan yang fokus pada stabilitas makro dan peran sektor swasta. Sedangkan Jokowi lebih fokus dalam pembangunan infrastruktur besar-besaran dan kebijakan fiskal yang ekspansif.
Perbandingan sejumlah indikator ekonomi juga memperlihatkan adanya perubahan arah pembangunan, mulai dari sumber pertumbuhan ekonomi, pengelolaan utang negara, hingga performa sektor manufaktur yang menjadi pilar utama industri nasional.
- 6 Ide Usaha yang Diprediksi Makin Cuan di 2026, Ada Green Business!
- 5 Alasan Gen Z Hobi Thrifting, Bukan Karena Asal Murah!
- Ini Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu di ATM Bank Mandiri, Dompet Ketinggalan Tak Perlu Panik!
Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan data yang dirilis Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Universitas Indonesia (LPEM UI), selama dua periode kepemimpinannya, SBY berhasil mencatat rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,64% di periode pertama dan 5,80% di periode kedua.
Momentum positif itu banyak didorong oleh booming komoditas global, yang mengangkat ekspor batubara, kelapa sawit, dan karet ke tingkat tertinggi sepanjang sejarah.
Sebaliknya, Jokowi mencatat pertumbuhan rata-rata 5,03% pada periode pertama dan 5,18% di periode kedua, angka yang relatif stabil, namun lebih rendah dari era sebelumnya.
Faktor utama pendorongnya adalah belanja pemerintah, khususnya untuk pembangunan infrastruktur besar-besaran seperti tol, pelabuhan, dan bendungan.
Menurut Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, pertumbuhan ekonomi pada masa Jokowi lebih bersifat “negara-sentris”, di mana pemerintah menjadi mesin utama pendorong aktivitas ekonomi.
Sementara pada masa SBY, sektor swasta memiliki peran yang lebih besar berkat kestabilan politik dan dukungan iklim investasi pasca-krisis 1998.
"Saya di depan Pak Jokowi iseng nih ngomongnya 'Pak, tau nggak Pak, kenapa Pak SBY tidur saja pertumbuhannya 6%, tapi Bapak bangun infrastruktur di mana-mana pertumbuhannya 5%, zamannya Pak Jokowi, sektor privat hampir tidak tumbuh, dicekik, sementara government sector-nya berjalan. Jadi selama 20 tahun terakhir, ekonomi kita mesinnya pincang,” ungkap Purbaya kepada awak media kala acara 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran di JS Luwansa Hotel, Jakarta, dikutip Jumat, 17 Oktober 2025.
Baca juga : Emas Digital Kian Digandrungi, BRI Group Luncurkan Aplikasi TRING!
Utang Negara dan Struktur Pembiayaan
Kebijakan fiskal menjadi pembeda yang paling mencolok antara dua era ini. Di akhir masa pemerintahan SBY, total Surat Berharga Negara (SBN) tercatat sekitar Rp1.173,57 triliun. Angka ini melonjak hampir lima kali lipat pada era Jokowi, menjadi Rp5.881,72 triliun menjelang akhir periode 2024.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, total utang pemerintah tercatat sekitar Rp1.271,4 triliun, setara dengan 77,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Di era Megawati Soekarnoputri, jumlah tersebut sedikit meningkat menjadi Rp1.298 triliun atau sekitar 56,5 persen dari PDB.
Sementara itu, pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), posisi utang pemerintah menurun secara rasio terhadap PDB, yakni menjadi Rp2.608,8 triliun atau 24,7 persen dari PDB. Namun, lonjakan paling tajam justru terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hingga Agustus 2024, total utang pemerintah pusat telah menembus Rp8.461,93 triliun.
Dengan demikian, selama dua periode pemerintahannya, Jokowi menambah utang sekitar Rp5.853,13 triliun, atau meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan total akumulasi utang enam presiden sebelumnya. Jika dibandingkan dengan akhir masa SBY, kenaikan utang tersebut mencapai 224,3 persen.
Apabila nilai utang tersebut dibagi rata ke seluruh penduduk Indonesia, maka setiap warga negara menanggung beban utang sekitar Rp30,06 juta per orang, sebuah angka yang tergolong sangat besar dalam sejarah fiskal Indonesia.
Kinerja Manufaktur
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil, sektor manufaktur justru menunjukkan tanda-tanda melemah. Pada masa SBY, kontribusi manufaktur terhadap PDB rata-rata mencapai 41,64%, sedangkan pada era Jokowi turun menjadi 39,12%.
Tren ini menandai lanjutnya proses deindustrialisasi, di mana sektor jasa tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor produksi barang. Data LPEM UI juga mencatat bahwa produktivitas tenaga kerja meningkat paling lambat selama masa jabatan pertama Jokowi dibandingkan empat masa pemerintahan sebelumnya.
Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat sektor manufaktur selama ini berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja dan ekspor nasional.
Baca juga : Harga Pangan Jakarta Bergerak Fluktuatif, Daging Sapi Has Naik Sementara Beras Premium Turun
Arah Ekonomi Dua Dekade
Dari sisi strategi, SBY mengandalkan kestabilan dan pertumbuhan yang berkelanjutan melalui sektor swasta dan ekspor komoditas, sementara Jokowi memilih pertumbuhan berbasis pembangunan fisik dan pembiayaan negara.
Keduanya menghadapi konteks global yang berbeda, SBY melewati krisis keuangan global 2008, sedangkan Jokowi menghadapi pandemi COVID-19 dan ketegangan geopolitik global.
Namun, keduanya sama-sama menegaskan pentingnya kemandirian ekonomi, baik melalui penguatan basis produksi domestik maupun perluasan pembiayaan dalam negeri.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa arah ekonomi Indonesia berevolusi dari era efisiensi menuju era intervensi. Pertumbuhan pada masa Jokowi memang lebih rendah, tetapi membawa fondasi infrastruktur yang lebih kuat. Sementara era SBY mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi, namun sangat bergantung pada momentum ekspor komoditas.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 20 Oct 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 21 Okt 2025