Cara Unik Kendalikan Tikus Sawah, Pakai Ular dan Burung Hantu?
JAKARTA - Bupati Indramayu, Lucky Hakim, melepas ratusan ular ke area persawahan sebagai cara untuk menekan ledakan populasi tikus yang merugikan petani. Selain ular, ia juga melepas biawak dan burung hantu.
Ia menjelaskan bahwa pelepasan hewan-hewan predator tersebut dilakukan untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem. Selama ini, ketidakseimbangan terjadi karena predator alami semakin jarang, sehingga populasi tikus berkembang pesat di persawahan Indramayu.
Menurutnya, keberadaan ular semakin sulit ditemukan lantaran sebagian masyarakat menangkapnya untuk diperjualbelikan atau membunuhnya karena rasa takut. Kondisi itu membuat tikus kehilangan pemangsa alami, sehingga jumlahnya semakin tak terkendali.
Lantas, apakah ular dan burung hantu efektif dan ramah lingkungan untuk kendalikan hama tikus?
Tikus dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar pada tanaman budidaya, karena menyerang pada setiap fase pertumbuhan, mulai dari benih, masa pembibitan, hingga setelah panen.
Secara alami, populasi tikus dapat ditekan oleh keberadaan predator seperti ular, kucing, anjing, garangan, burung hantu, dan elang. Namun, ketika keseimbangan ekosistem terganggu, peran pengendalian alami juga ikut melemah sehingga efektivitasnya menjadi berkurang.
Hal ini terjadi karena jumlah predator semakin berkurang akibat aktivitas manusia dan kerusakan lingkungan. Pemanfaatan predator sebagai pengendali hama tikus memiliki potensi besar serta keunggulan, yaitu ramah lingkungan, hemat biaya, dan berkelanjutan.
Meski sering ditakuti, ular memiliki peran penting dalam ekosistem pertanian. Sebagai predator alami tikus, hama utama yang merusak tanaman dan menjadi perantara penyakit, ular membantu menjaga populasi hama tetap terkendali.
Tidak semua ular berbahaya, beberapa jenis seperti ular tikus dan ular koros, merupakan pemangsa hama yang efektif, tidak berbisa, dan tidak agresif terhadap manusia.
Sementara, burung hantu Tyto alba javanica merupakan salah satu predator tikus yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Pemanfaatan burung hantu dalam pengendalian hama tikus telah banyak dilakukan dan terbukti efektif.
Dilansir dari Balai Besar Perbenihan Dan Pelindungan Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, di Desa Telogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, pengembangan burung hantu berhasil menekan serangan tikus pada tanaman padi sawah dan jagung secara signifikan.
Dilansir dari jurnal yang bertajuk “Potensi Pemanfaatan Burung Hantu Sebagai Pengendalian Tikus Sawah di Desa Bener, Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten,” penggunaan burung hantu dalam mengendalikan tikus cukup berhasil apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh, dalam artian memberikan perawatan yang baik pada rumah burung hantu
Dengan demikian, burung hantu merasa nyaman untuk menetap di rumah buatan tersebut serta dapat berkembang biak di dalam sarangnya.
Keunggulan burung hantu dalam strategi pengendalian hayati terkait dengan sifat alaminya, yaitu sebagai predator yang ganas dalam memburu mangsa dari jarak jauh. Burung hantu juga memiliki kemampuan terbang yang cepat, memiliki pendengaran yang tajam, bahkan mampu mendeteksi suara tikus hingga jarak 500 meter.
Burung hantu juga tidak bersifat migratory, sehingga dapat dikembangkan di area yang mengalami serangan tikus sawah. Setiap harinya, seekor burung hantu mampu memangsa 2-5 ekor tikus, sehingga dalam sebulan jumlahnya bisa melebihi 100 ekor tikus.
Kelebihan lain dari pemanfaatan burung hantu adalah biayanya yang lebih murah dibandingkan metode kimia maupun mekanik. Meski biaya awal cukup mahal, secara keseluruhan tetap lebih murah.
Selain itu, penggunaan burung hantu sama sekali tidak menimbulkan risiko berbahaya. Masyarakat hanya perlu melakukan pengawasan terhadap kondisi burung hantu dan rumahnya.
Selain kelebihan sebagai pengendali tikus sawah, penggunaan burung hantu juga menghadapi beberapa kendala, seperti keterbatasan modal petani yang membuat rumah burung hantu yang dibangun masih sederhana dan belum memenuhi standar.
Selain itu, teknologi pemanfaatan burung hantu tidak mudah dipahami secara cepat oleh petani, sehingga perlu diperkenalkan secara bertahap mengenai cara kerja burung hantu.
Kurangnya pengetahuan merawat burung hantu membuat burung hantu lebih mudah stres, sehingga enggan berkembang biak. Selain itu, pemahaman masyarakat yang terbatas mengenai burung hantu menyebabkan sebagian orang masih mempercayai mitos negatif terkait keberadaan burung hantu.
Keberhasilan pengendalian hama tikus tidak hanya bergantung pada penggunaan burung hantu, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif seluruh petani serta dilakukan secara berkelanjutan dan terkoordinasi dengan baik.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 19 Aug 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 20 Agt 2025