Bali dan Masalah Overtourism: Saat Surga Wisata Jadi Sesak
JAKARTA – Sejak lama, Bali dijuluki sebagai “surga tropis” Indonesia. Pulau Dewata ini bukan hanya terkenal di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga mendunia sebagai salah satu destinasi wisata paling ikonik. Media sosial dipenuhi potret pantai dengan langit senja berwarna oranye keemasan, hamparan sawah berundak yang menyejukkan mata, hingga deretan kafe estetik yang selalu menggoda wisatawan untuk datang.
Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu seindah yang terlihat di layar ponsel. Banyak turis, termasuk Zoe Rae, merasa kecewa karena menemukan perbedaan besar antara citra ideal Bali di media sosial dengan kondisi aslinya.
Pemandangan sunset yang menawan kerap disertai jalanan yang dipenuhi sampah, air terjun indah harus dinikmati setelah menunggu dalam antrean panjang, sementara perjalanan menuju kafe hits justru terhambat oleh kemacetan dan asap kendaraan.
“Sejak mendarat di Bali, ada sesuatu yang terasa tidak beres. Kami datang dengan ekspektasi tinggi setelah melihat orang-orang bersenang-senang di media sosial. Tapi kalau gambar kedai kopi itu diperbesar, Anda akan tahu kenyataannya,” ungkap Zoe dalam sebuah video YouTube, dikutip Selasa 30 September 2025.
Meski menuai kritik, magnet Bali tak surut. Data BPS Provinsi Bali mencatat, jumlah wisatawan mancanegara yang masuk sepanjang Januari–Juli 2025 mencapai lebih dari 3,9 juta orang. Hampir seluruhnya masuk melalui Bandara Internasional Ngurah Rai, dengan jumlah bulanan yang terus menanjak hingga menembus 697 ribu pada Juli.
Tren ini merefleksikan pola sebelum pandemi. Dari 3,8 juta turis pada 2014, jumlahnya melonjak ke 6,3 juta pada 2023. Tahun ini, angka tersebut berpotensi menembus 7 juta.
Antara Ekonomi, Lingkungan, dan Budaya
Ledakan wisatawan memang membawa berkah ekonomi, namun juga menimbulkan beban. Polusi plastik masih menjadi masalah klasik di pantai, sementara banjir besar yang jarang terjadi hingga menelan korban jiwa disebut berkaitan dengan pengelolaan sampah buruk dan pembangunan yang tak terkendali.
Perubahan juga terasa di level sosial. Desa-desa tenang seperti Canggu kini dipenuhi vila, kafe, dan coworking space, didorong tren pencarian “permata tersembunyi” oleh turis. Bagi sebagian warga, ruang hidup dan identitas budaya kian tergerus.
Fenomena overtourism turut menimbulkan paradoks. Wisatawan kerap mengeluhkan Bali yang terlalu sesak, padahal mereka sendiri bagian dari kerumunan. “Saat orang bilang Bali makin padat, mereka juga bagian dari kepadatan itu. Sama seperti ketika kita mengeluh macet, padahal kita juga yang ada di jalan,” ujar peneliti Bali, I Made Vikannanda.
Perilaku turis bermasalah ikut memperkeruh situasi, mulai dari mabuk dan kecelakaan skuter, sikap tak sopan di tempat suci, hingga kasus kriminal. “Banyak turis merasa karena mereka punya uang, kami warga lokal harus menerima apa pun yang mereka lakukan,” tutur Sintya, pekerja di sektor pariwisata.
Di tengah frustrasi, masyarakat Bali tetap bergantung pada pariwisata untuk penghidupan. Pemerintah daerah pun berupaya menyeimbangkan pembangunan dengan keberlanjutan, mulai dari melarang plastik sekali pakai, menerbitkan pedoman perilaku wisatawan, hingga menurunkan polisi di area wisata.
Komunitas lokal bergerak lewat edukasi pengelolaan limbah dan aksi bersih pantai. Bali tetaplah destinasi indah sekaligus rentan. Citra Instagram hanya menampilkan permukaannya.
Untuk menjaga pesona pulau ini tetap lestari, wisatawan dituntut berperilaku hormat, sadar lingkungan, dan menghargai budaya lokal. Pada akhirnya, menjaga Bali bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan masyarakatnya, tetapi juga setiap orang yang berkunjung.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 30 Sep 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 03 Okt 2025