Perjalanan Menjadi Indonesia, Catatan Solo Societeit Menelisik Sejarah Tionghoa di Solo
SOLOAJA.CO - Etnis Tionghoa di Surakarta, mendiami tempat tersendiri yang telah diatur sejak masa kolonial. Di bagian tengah kota Surakarta, didiami oleh beberapa etnis, yakni Tionghoa, Arab dan Eropa. Masing-masing menempati daerah tertentu secara terpisah. Jika hunian Eropa terpisah dari perkampungan etnis lain berdasarkan ras, maka penunjukkan Kampung Pecinan untuk orang-orang Tionghoa ditujukan agar gerak-gerik mereka mudah diawasi.
Bertepatan dengan momen Imlek 2573 tahun 2022, komunitas pejalan kaki Solo Societeit dan Soerakarta Walking Tour, menapak sejarah komunitas Tionghoa di Kota Solo.
"Kami ingin melihat jejak sejarah Tionghoa di Kota Solo, kita eksplore kawasan Pasar Gede dan Sudiroprajan yang menjadi pusat atau kampung Pecinan kota Solo," kata Dhani Saptoni, Senin 31 Januari 2022.
- Nomor Telkomsel Prabayar yang Sudah Hangus Bisa Diaktifkan Kembali, Ini Caranya
- Mahasiswa DKV ISI Surakarta Lolos Magang Kreatif di Puma Jerman, Ikut Mendesain Iklan Manchester United
Sejarah Pecinan
Pada abad ke-19, etnis Tionghoa dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka dilarang tinggal di tempat tertentu tanpa memiliki surat izin (wijkenstelsel). Selain itu, etnis Tionghoa juga dilarang berpergian bila tanpa surat jalan (passenstelsel). Muara dari pembatasan ini agar pemerintah kolonial Belanda lebih leluasa dalam mengeksploitasi ekonomi Hindia Belanda karena bagi pemerintah Belanda, adanya etnis Tionghoa akan merugikan mereka.
Sepanjang perjalanan sejarah etnis Tionghoa di Indonesia, kerap terjadi sentimen rasial bahkan berujung pada kerusuhan. Hari Mulyadi dan Soedarmono mencatat beberapa diantaranya terjadi di Surakarta, peristiwa pada bulan Mei 1998 adalah kerusuhan yang ke-11 kali di Surakarta atau peristiwa ke-7 mengenai gesekan antar etnis. Pertama, kerusuhan yang terjadi pada Geger Pecinan yang berpengaruh hingga pindahnya ibukota Mataram (Kartasura-Surakarta); kedua, pembunuhan etnis Tionghoa pada perang Jawa (1825-1830). Ketiga, era Sarikat Islam tahun 1911-1912. Keempat, Sarikat Islam tahun 1916. Kelima, pasca peristiwa 1965 dan keenam, kerusuhan pada November 1980, serta kerusuhan 1998 yang ketujuh.
Perayaan Imlek
pasca kemerdekaan, nasib etnis Tionghoa juga cenderung dinamis. Gerak perdagangan mereka dibatasi hanya se-kabupaten saja, sesuai Perpres No. 10/1959. Berlanjut, di masa Presiden Soeharto, orang-orang Tionghoa harus menghilangkan identitas ke-Tionghoa-annya. Sesuai dengan Kepres No.127 tahun 1966, pergantian nama harus dilakukan sesuai nama-nama Indonesia.
Selain itu, di sisi kebebasan berekspresi, surat kabar Tionghoa dibredel pasca peristiwa 1965. Perayaan dan tradisi dihilangkan sesuai Inpres No.14 tahun 1967. Pada bidang Pendidikan, etnis Tionghoa diberi kesempatan melalui Peraturan Presiden No.B12/ Pres/ 1/ 1968, tentunya sekolah sekolah swasta. Keadaan kemudian berubah, kian membaik.
Pada kepemimpinan B.J. Habibie, istilah pri dan non-pri dihentikan. Setelahnya, era Gus Dur, etnis Tionghoa diberi kelonggaran penuh untuk merayakan Imlek.
Pasar Gede Hardjonagoro
Pasar Gede merupakan salah satu pasar yang berpengaruh terhadap ekonomi kota di Solo. Tempo doeloe, pasar ini masih berupa pasar oprokan/ndeprok/belum memiliki bangunan utuh untuk peneduh.
Secara historis, area pasar tersebut milik seorang kapitan atau mayor Tionghoa bernama Be Kwat Koen. Akhirnya, tanah tersebut ditebus dengan uang sebesar 35.000 gulden pada tahun 1924.
Pasar pun dibangun kembali dengan sentuhan arsitek kenamaan Thomas Karsten pada tahun 1928. Selama dua tahun masa pembangunan, para pedagang sargedhe menempati Alun-alun dan area Gladhag sebagai pasar darurat. Pembangunan rampung, pada 13 Januari 1930, pasar diresmikan oleh Paku Buwana X. Peresmian pun dihelat meriah, dengan ketoprak, wayangan bahkan gelaran pertunjukan oleh para penyandang tuna netra. Beberapa dekade berselang, Pasar Gede pernah bernasib kurang mujur, pada era revolusi tahun 1948 dan tahun 2000.
Keunikan Sudiroprajan
Buk Teko
Lokasi ini ditandai dengan prasasti kecil bercat warna merah mencolok. Menurut folklore yang berkembang di sekitar lokasi, dahulu ketika PB X melaksanakan kegiatan midher praja, sempat berhenti di dekat buk/boog/tembok rendah dipinggir jalan yang biasa dipakai duduk. Saat itu tanpa sengaja abdi dalem pengiring beliau yang bertugas membawa teko terjatuh, sehingga teko PB X hanyut ke sungai kecil didekatnya kemudian hilang. Maka untuk mengenang kejadian itu, lokasi jatuhnya teko kemudian dikenal dengan nama Buk Teko.
Namun dari beragam sumber yang bisa dijadikan kajian, kemungkinan asal nama dari Buk Teko ini sendiri terkait dengan kebiasaan masyarakat Tionghoa pada jaman dahulu. Lokasi dimana Buk Teko ini berada merupakan pusat orang Tionghoa untuk melaksanakan tradisi minum teh, dengan cara menuangkan air teh dari teko. Bagi kalangan masyarakat Tionghoa tradisi minum teh memang menjadi sebuah budaya keseharian yang begitu mengakar.
Dalam Majalah Sasadara terbitan Radya Pustaka tahun 1901, dituliskan berbagai tata cara minum teh agar nikmat, mulai dari pemilihan air dan cara memasaknya,kemudian cara mencampur teh, hingga perawatan teko yang benar.
Seperti dikutip berikut ini:
Satunggaling jinis grabah alus awarni abrit, wujudipun nyêmpluk, ing nginggil mawi tutup, ing ngajêng mawi cucuk tuwin ing wingking mawi cêpêngan, winastan: tekwan, kaangge wadhah ngêcuri godhong tèh sarana wedang, sasampunipun luntur, lajêng dipun curakên ing cangkir, nuntên kaunjuk... Sapêngkêripun tiyang Cina angajawi, tiyang Jawi lajêng tumut ngangge tekwan wau, tuwin ngombe wedang tèh ananging nama tekwan, kalantur dados teko.
... Mênawi ngumbah tekwan wau, ing lêbêtipun sampun dipun gêbêg, namung kasirama toya wedang kemawon, tuwin mênawi badhe kacêmplungan tèh, ing lêbêtipun kêdah dipun suri wedang panas rumiyin, kalih utawi tigang rambahan, nuntên godhong êtèh kalêbêtakên tuwin lajêng dipun surana wedang panas wau ingkang ngantos baludag, supados unthukipun sagêd ical.
Sasampuning unthukipun ical, lajêng kaêtrapan tutupipun, tuwin jawinipun kaêcurana wedang malih tigang rambahan, kasrantosakên tiga utawi kawan mênut, nuntên kailing ing cangkir..
Kuliner ala Pecinan Surakarta
Timlo. Pada awalnya timlo disebut dengan kimlo, seperti ditulis dalam Majalah Sasadara, Radya Pustaka, 1903 dibawah ini:
Satunggaling dhaharan ing nagari Cina, ulam ayam dipun cacah-cacah, mawi bumbu: mrica pêthak ingkang sampun kadhêplok lêmbat, sarêm tuwin tigan ayam, lajêng dipun glindhingi satunggal-satunggal, sasampuning kagodhog, nuntên kacamboran brambang gorengan, kecap, urang utawi èbi, jamur kuping, jyuhi, kimcyam tuwin suk-on, mawi wedang kadosdene: sop, punika ing têmbung Cina winatsan: kimlo. Ing rat chineesch Hollandseh Woordenboek van het Emoi dialekt karanganipun tuwan-tuwan J.J.C. Francken tuwin C.F.M. de Grijs sastranipun Cina kasêrat mungêl makatên (kimla).
Tiyang Jawi niru damêl dhaharan kimla wau, tuwin kawêwahan kole, slèdri tuwin kapri, inggih winastan: kimla, anging kêlantur dados kimlo utawi timlo.
Seiring waktu, timlo yang semula hanya merupakan kuliner warga Tionghwa, kemudian menjadi jenis kuliner yang lazim didapati dalam hidup keseharian masyarakat Surakarta. Terutama pada waktu masyarakat melaksanakan hajatan. Seperti dikutip berikut ini:
Para tiyang Jawi têngahan sampun anindakakên rangkêp, enjing kêpungan, nalika dintên wêdalanipun, kinêpang tăngga têpalih lare-lare, dumunung wilujêngan sidhêkah, sontênipun ulêman para mitra nêdha eca. Mawi mragad menda, kaolah sate gule cara Arab. Wontên ingkang pancèn sanès santri, sugatanipun mawi: bakmi, kimlo, cara Cina. Sawênèhing kang agêng manahipun, mawi sugata, kênthang bêstik, sop, sêlat, têtularan Walandi. Kala măngsa mawi klênengan, wacucalan, tayuban.
Cao (janggelan)
Cao adalah sejenis minuman tradisional Cina yang kemudian juga membumi dalam dunia kuliner Surakarta. Bahkan cao juga ada di kota-kota lain dengan nama yang sedikit berbeda. Seperti dikutip dari Sasadara Radyapustaka berikut ini:
Satunggaling ombèn-ombèn ing nagari Cina, ingkang ngemu teges:
Jan, têgêsipun: sabin, jao: rumput.
Têrangipun, rumput ing sabin, inggih punika ing têmbung Jawi winastan: janggelan, ingkang dipun godhog kapêndhêt sarinipun, kacamboran pathi onggok, tuwin lăndha mêrang, sasampuning kajênang kêndhêl lajêng dipun iris-iris, mênawi badhe kaombe kacamboran gêndhis tètès, kalihan toya tuwin dipun kêcêri toyaning jêram jêram pêcêl.
Ing tanah Jawi têtiyang Cina ingkang ngawiti sade janjao wau, lajêng dipun tiru dening têtiyang Jawi, kêlanturing têmbung Jawi dados: cao. Tiyang ing Batawi amastani: Tjintjao.
Ampyang
Jajanan yang terbuat dari kacang tanah berbalut gula aren ini merupakan jajanan khas Cina. Karena kepopulerannya, bahkan jajanan ini juga dipakai untuk menganalogikan satu keadaan yang menyiratkan sebuah akulturasi kebudayaan yang ada di kawasan Pecinan.
Ampyang selain menunjuk pada nama jajanan, juga memiliki arti: percampuran dua perbedaan yang menyatu. Di kawasan Pecinan, lazim terjadi hubungan perkawinan antara orang-orang Tionghwa dengan penduduk lokal, hasil dari perkawinan ini sering disebut juga ampyang (blasteran ).
Asal kata Balong (kawasan Pecinan kota Solo)
Berdasarkan asal kata nya, balong berarti : 1. lêdhok lan banyune ngêndhong (palêmahan); 2. blumbangan ( dianggo ngingu iwak) (Bauwarna).
Balangan :
Pada jaman dulu, orang Cina totok banyak yang mencari nafkah dengan cara menjual aneka macam barang kebutuhan. Mereka menjualnya dengan cara menawarkan secara keliling sambil bersuara: “balangan, balangan...” yang dimaksud sebenarnya adalah “barangan, barangan...” yang berarti segala macam barang kebutuhan (kelontong) serta beberapa barang kebutuhan lainnya baik baru maupun bekas.
Kejawen 1929 menulis soal ini :
Balangan ing ngriku gadhah têgês: barangan, saking lingga barang, nanging barang ingkang sampun lungsuran, dene barang jan utawi barang enggal dèrèng kangge. têmbung: balangan, punika sakawitipun singkèk-singkèk taksih totok, panggêsanganipun sabên dintên sami angidêrakên barang-barang lungsuran utawi rosokan, dipun rêmbat dhatêng kampung, utawi margi-margi agêng, katawèkakên: balangan balangan.
Awit limrahipun Tiyonghwa ingkang taksih totok, pakêcapanipun botên gadhah aksara: ra, punapadene sandhangan: layaran, sami santun pakêcapan: la sadaya. Upami: kampung Baron, dados kampung: Balong. Aryasaputran dipun kêcapakên: kalyasaputhalan.
Ada pula satu guritan dalam Basa Basuki (1937) yang bisa dipakai untuk menggambarkan pola sosiologis warga Balong jaman dulu :
Guritanipun tiyang ambarang kêntrung: ginurita pêrawane wong Kauman, esuk-sore padha dandan, baut ngaji Kitab Kur'an, akèh jaka kang kedanan, nanging arang kang katampan. Sun gêgurit parawane wong ing Balong, esuk-sore ridhong-ridhong, wêdi gawe dhêmên omong, tangi-turu mung mêndongong, yèn mangan êntèk rong tenong.
"Pasar Gedhe dan kawasan Sudiroprajan, pada hakikatnya bak laboratorium yang menyediakan bahan penting bagi para ilmuwan sosial dalam mengkaji proses pembauran masyarakat lintas kelas dan etnik. Lewat kawasan ini, harmoni sosial budaya terus dijaga dan bisa kita lihat pada kehidupan sehari-hari dengan selaras." Pungkas Dhani.