Nuklir dan Energi Terbarukan, Mana yang Lebih Baik untuk Lingkungan?
JAKARTA – Seiring meningkatnya upaya global untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan mempercepat peralihan menuju energi bersih, energi nuklir mulai kembali dipertimbangkan sebagai salah satu opsi alternatif.
Berdasarkan berbagai sumber yang dikutip pada Senin, 22 Desember 2025, sejumlah penelitian ilmiah internasional menyebutkan bahwa dari sisi emisi karbon, pembangkit listrik tenaga nuklir memiliki tingkat emisi yang sebanding dengan energi angin, bahkan lebih rendah dibandingkan energi surya. Meski demikian, penilaian terhadap status “ramah lingkungan” energi nuklir tidak hanya ditentukan oleh besaran emisi karbon semata.
Berdasarkan berbagai analisis life cycle assessment (LCA), yakni perhitungan emisi dari seluruh siklus hidup pembangkit, mulai dari penambangan bahan baku, konstruksi, operasi, hingga dekomisioning, energi nuklir masuk dalam kategori sumber energi beremisi sangat rendah. Namun, aspek lingkungan non-karbon seperti limbah radioaktif, risiko kecelakaan, dan ketergantungan pada sumber daya terbatas masih menjadi titik kontroversi.
Nuklir, Angin, dan Surya
Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mencatat median emisi karbon siklus hidup pembangkit nuklir berada di kisaran 12 gram CO₂ ekuivalen per kilowatt-jam (g CO₂eq/kWh). Angka ini nyaris setara dengan tenaga angin darat yang berada di kisaran 11 g CO₂eq/kWh, sementara tenaga surya fotovoltaik tercatat lebih tinggi, sekitar 48 g CO₂eq/kWh.
Temuan ini diperkuat laporan Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa (UNECE) pada 2022 yang menempatkan nuklir sebagai salah satu teknologi dengan emisi terendah, bahkan hanya 5,1–6,4 g CO₂eq/kWh. Studi harmonisasi dari Laboratorium Energi Terbarukan Nasional Amerika Serikat (NREL) juga menyimpulkan bahwa emisi nuklir, angin, dan surya secara signifikan lebih rendah dan lebih stabil dibandingkan pembangkit berbahan bakar fosil seperti batu bara dan gas.
Dengan angka tersebut, dari sudut pandang mitigasi perubahan iklim semata, nuklir kerap diposisikan sejajar dengan energi terbarukan utama. Selain emisi, nuklir unggul dalam aspek ketersediaan energi. Faktor kapasitas pembangkit nuklir dapat melampaui 90%, artinya mampu beroperasi hampir sepanjang waktu dan menyediakan listrik secara stabil 24 jam sehari.
Sebaliknya, tenaga angin dan surya bersifat intermiten, dengan faktor kapasitas rata-rata masing-masing sekitar 20–40% dan 10–25%, tergantung lokasi dan cuaca. Dari sisi penggunaan lahan, nuklir juga dinilai lebih efisien. Untuk menghasilkan satu terawatt-jam listrik per tahun, pembangkit nuklir memerlukan lahan jauh lebih kecil dibandingkan ladang turbin angin atau pembangkit surya skala besar.
Efisiensi ini sering menjadi argumen penting bagi negara dengan keterbatasan ruang atau kepadatan penduduk tinggi. Namun, keunggulan teknis tersebut dibayangi oleh persoalan biaya dan waktu pembangunan. Data industri energi menunjukkan bahwa levelized cost of energy (LCOE) nuklir berada di kisaran US$112–189 per megawatt-jam, menjadikannya salah satu sumber listrik termahal dan cenderung mengalami kenaikan biaya akibat kompleksitas proyek.
Sebaliknya, pembangkit tenaga angin dan surya justru mengalami penurunan biaya signifikan dalam satu dekade terakhir. LCOE tenaga angin darat tercatat sekitar US$29–56 per MWh, sementara tenaga surya berada di kisaran US$36–44 per MWh. Selain mahal, pembangunan pembangkit nuklir memerlukan waktu panjang, rata-rata 10 tahun atau lebih sejak perencanaan hingga operasi komersial.
Bandingkan dengan pembangkit surya dan angin yang dapat dibangun dalam hitungan bulan hingga beberapa tahun, sebuah faktor krusial dalam upaya cepat menggantikan energi fosil.
Limbah Radioaktif dan Risiko Jangka Panjang
Isu paling sensitif dari energi nuklir adalah limbah radioaktif berumur sangat panjang. Limbah tingkat tinggi harus dikelola dan disimpan secara aman selama ribuan hingga puluhan ribu tahun, menimbulkan pertanyaan lintas generasi tentang tanggung jawab dan keamanan jangka panjang.
Selain itu, meski jarang terjadi, risiko kecelakaan besar seperti Chernobyl dan Fukushima tetap membekas dalam memori publik. Risiko ini juga mencakup potensi kerentanan terhadap konflik militer, bencana alam ekstrem, atau serangan teroris, terutama di era ketidakpastian geopolitik.
Sementara itu, tenaga surya dan angin juga memiliki dampak lingkungan, seperti limbah panel surya yang mengandung logam berat serta dampak visual dan kebisingan turbin angin. Namun, dampak tersebut umumnya dianggap lebih mudah dikelola dibandingkan limbah radioaktif.
Dari sisi keberlanjutan sumber daya, nuklir bergantung pada uranium yang terbatas dan memerlukan aktivitas pertambangan. Sebaliknya, energi surya dan angin memanfaatkan sumber daya alam yang pada dasarnya tak terbatas.
Pembangkit nuklir juga sangat bergantung pada ketersediaan air untuk pendinginan. Dalam kondisi perubahan iklim, gelombang panas dan kekeringan ekstrem dapat memaksa reaktor nuklir mengurangi daya atau bahkan berhenti beroperasi, sebagaimana pernah terjadi di sejumlah negara Eropa.
Berbagai kajian internasional menunjukkan dari sisi emisi karbon murni, tenaga nuklir sangat kompetitif dan setara dengan tenaga angin, bahkan lebih rendah dibandingkan tenaga surya.
Namun, jika definisi “energi hijau” diperluas untuk mencakup biaya, kecepatan penerapan, keberlanjutan sumber daya, risiko keamanan, dan pengelolaan limbah jangka panjang, maka penilaian terhadap nuklir menjadi jauh lebih kompleks.
Bagi banyak negara, perdebatan ini bukan soal memilih mana yang paling hijau secara absolut, melainkan menentukan bauran energi paling realistis sesuai kondisi geografis, ekonomi, kapasitas teknologi, dan kebijakan nasional.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 22 Dec 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 22 Des 2025
