Ketegangan Meningkat, Ini Penyebab Memburuknya Hubungan AS-China
JAKARTA – Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China terus mengalami eskalasi. Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan peningkatan tarif resiprokal terhadap produk-produk asal China, dari sebelumnya 104% menjadi 125%.
Kebijakan ini merupakan bentuk tanggapan terhadap langkah China yang lebih dulu memberlakukan tarif hingga 84% terhadap produk-produk asal AS.
Trump menyatakan bahwa China telah bertindak tidak menghormati, sehingga diperlakukan secara berbeda dibandingkan negara lain. Melalui akun media sosialnya, ia menyampaikan bahwa pemberlakuan tarif tinggi terhadap negara-negara lain akan ditunda, kecuali untuk China.
- Cara Tepat Membersihkan Rumah Setelah Lebaran
- 6 Rekomendasi Film dari Studio Ghibli untuk Temani Aktivitas Anda
- 8 Cara Mencegah Berat Badan Naik Saat Lebaran
“Karena kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan China kepada Pasar Dunia, dengan ini saya menaikkan tarif yang dikenakan ke China oleh Amerika Serikat menjadi 125%, berlaku segera,” kata Trump melalui Instagram.
“Suatu saat, mudah-mudahan dalam waktu dekat, China akan menyadari bahwa hari-hari menipu AS, dan negara-negara lain, tidak lagi berkelanjutan atau dapat diterima,” tulis Trump.
Perang tarif antara AS dan China berpotensi memicu lonjakan harga bagi konsumen AS serta menggagalkan langkah-langkah China untuk menghidupkan kembali perekonomiannya yang melemah. Banyak pengamat melihat sikap balasan China mencerminkan keteguhan mereka untuk tidak menyerah pada tekanan dari Trump, meskipun konsekuensinya cukup besar.
Adapun, baik mitra maupun pesaing, terkadang sekutu, terkadang musuh. Hubungan antara Amerika Serikat dan China telah menjadi jauh lebih rumit selama dekade terakhir. Namun, kedua kekuatan ekonomi besar ini saling terkait erat, terutama dalam hal perdagangan. Dilansir dari absparis.com, satu fakta menarik adalah bahwa China adalah kreditor asing terbesar bagi Amerika Serikat.
Hubungan diplomatik antara China dan Amerika Serikat mengalami ketegangan yang sangat tinggi karena perang dagang dan ideologi, perbedaan pandangan dalam menangani pandemi, serta benturan geopolitik di berbagai wilayah.
Ketegangan ini semakin meningkat selama masa kepresidenan Trump kala itu, ditandai oleh serangkaian peristiwa: pengenaan tarif oleh AS terhadap produk-produk asal China (khususnya panel surya, di mana China merupakan pemimpin pasar global), balasan dari otoritas China dengan menaikkan tarif terhadap sejumlah besar produk AS.
Serta pengesahan undang-undang oleh Kongres AS yang melarang berbagai instansi pemerintah menggunakan peralatan dari Huawei, Dahua Technology, ZTE, dan Hikvision. Akibatnya, posisi China sebagai mitra dagang utama AS turun ke peringkat ketiga dalam periode Januari hingga Juni 2019.
Berikut penyebab panasnya hubungan Amerika Serikat dan China:
Pandemi Virus Corona COVID-19
Dilansir dari BBC, China menunjukkan reaksi keras setelah Donald Trump menyebut virus corona sebagai “virus China.” Juru bicara Kementerian Luar Negeri China memperingatkan Amerika Serikat sebaiknya fokus menyelesaikan masalah internalnya sendiri sebelum menyudutkan atau memberi stigma kepada China.
Donald Trump sering menuding China tidak terbuka dalam memberikan informasi terkait virus Corona baru, yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada akhir tahun 2019. Ia kerap menyebut virus tersebut sebagai virus China.”
Trump menuduh para pejabat China tidak memenuhi kewajiban mereka untuk melaporkan informasi kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai virus yang telah merenggut ratusan ribu nyawa di seluruh dunia. Ia juga menuding WHO telah ditekan oleh China sehingga memberikan informasi yang menyesatkan kepada dunia.
Di sisi lain, pihak China menyatakan mereka telah bersikap transparan terkait wabah ini. WHO membantah tudingan Trump, yang menyatakan organisasi itu menyebarkan disinformasi dari China. Akibat ketegangan ini, Amerika Serikat mengumumkan rencana untuk keluar dari keanggotaan WHO pada pertengahan 2021 karena ketidakpuasan terhadap penanganan pandemi.
Saat itu, Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang mendesak Amerika Serikat untuk memperbaiki kesalahannya dan menghentikan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar terhadap China.
Soal Perdagangan
Saat itu pemerintahan Trump mulai menaikkan tarif atas barang impor dari China—mitra dagang terbesarnya—pada tahun 2018, sebagai bagian dari strategi besar untuk menekan Beijing agar mengurangi subsidi terhadap industri manufakturnya dan menghentikan praktik-praktik yang memberatkan perusahaan-perusahaan Amerika di China.
Setelah lebih dari satu tahun saling balas tarif yang turut memperlambat pertumbuhan ekonomi global, kedua negara akhirnya menandatangani perjanjian dagang pada Januari 2020. Perjanjian ini memangkas sebagian tarif yang telah diberlakukan, namun belum menyentuh akar permasalahan utama.
Dalam kesepakatan tersebut, Beijing berkomitmen untuk meningkatkan pembelian produk-produk asal Amerika Serikat sebesar US$200 miliar dalam jangka waktu dua tahun.
Sementara, Departemen Perdagangan dan Departemen Luar Negeri AS mendorong perusahaan-perusahaan Amerika untuk memindahkan proses produksi dan rantai pasokan mereka dari China ke negara lain.
Laut China Selatan
Amerika Serikat mempertegas sikapnya terkait Laut China Selatan, dengan menuduh China berupaya membentuk kerajaan maritim di wilayah perairan yang diyakini memiliki potensi sumber daya energi yang besar.
Klaim China atas hampir 90% wilayah laut tersebut telah mendapat penolakan dari sejumlah negara, termasuk Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
Saat itu, pada 13 Juli 2020, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengeluarkan pernyataan yang untuk pertama kalinya secara tegas menyatakan bahwa klaim China tidak sah menurut hukum. Ia juga menuding Beijing sedang menjalankan kampanye penindasan di kawasan tersebut.
Trump Akhiri Perlakuan Ekonomi Istimewa terhadap Hong Kong
Saat menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah untuk mengakhiri perlakuan ekonomi istimewa bagi Hong Kong, setelah China memberlakukan undang-undang keamanan baru di wilayah tersebut.
Trump menyatakan Hong Kong kini akan diperlakukan sama seperti daratan utama China. Ia juga mengesahkan undang-undang yang memungkinkan pemberian sanksi kepada pejabat yang dianggap mengekang kebebasan di sana.
Langkah ini mendapat kecaman keras dari China, yang menyatakan akan mengambil tindakan balasan.
Pemerintah AS menilai bahwa undang-undang keamanan baru tersebut mengancam kebebasan yang sebelumnya dinikmati Hong Kong berdasarkan perjanjian tahun 1984.
Status khusus Hong Kong disepakati antara China dan Inggris—sebelum wilayah itu diserahkan kembali kepada Beijing pada tahun 1997.
Undang-undang keamanan yang baru—yang melarang kritik terhadap pemerintah China—dipandang sebagai perubahan paling drastis terhadap tatanan politik Hong Kong sejak saat itu.
Terkait Masalah Masyarakat Uighur
Pemerintahan Trump pada 2020, menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pejabat China, termasuk seorang tokoh senior Partai Komunis, atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap minoritas Muslim Uighur. Langkah ini diperkirakan akan memperburuk ketegangan antara Washington dan Beijing.
Salah satu pejabat yang menjadi sasaran sanksi adalah Chen Quanguo—anggota Politbiro yang beranggotakan 25 orang dan juga sekretaris partai di wilayah Xinjiang. Mengingat posisinya yang tinggi, keputusan ini kemungkinan besar akan memicu kemarahan di kalangan elite Partai Komunis.
Pejabat lain yang turut dikenai sanksi termasuk Zhu Hailun, mantan wakil sekretaris partai untuk Xinjiang; Wang Mingshan, direktur Biro Keamanan Publik Xinjiang; dan Huo Liujun, mantan sekretaris partai di biro tersebut. Biro Keamanan Publik Xinjiang juga turut dikenai sanksi.
Amerika Serikat memberlakukan sanksi terhadap sejumlah pejabat, perusahaan, dan lembaga asal China karena pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan perlakuan terhadap kelompok minoritas Muslim Uighur di wilayah Xinjiang, bagian barat China.
Pemerintah China sendiri telah menuai banyak kecaman karena membangun kompleks di daerah terpencil Xinjiang yang mereka sebut sebagai pusat pelatihan kejuruan, yang diklaim bertujuan untuk memberantas ekstremisme dan memberikan pelatihan keterampilan baru bagi masyarakat.
Jurnalis dan Mahasiswa China
Dalam langkah yang mengingatkan pada era Perang Dingin, Departemen Luar Negeri AS pada 2020 memberi tahu lima media milik negara China bahwa mereka harus mengurangi jumlah warga negara China yang bekerja di AS.
Langkah ini, yang digambarkan oleh Departemen Luar Negeri sebagai pembatasan jumlah personel, menetapkan bahwa tidak lebih dari 100 warga Republik Rakyat China dapat bekerja di AS untuk lima outlet media tersebut, mulai berlaku pada 13 Maret 2020.
Amerika Serikat memperlakukan beberapa media milik pemerintah China layaknya perwakilan diplomatik asing dan mengurangi jumlah jurnalis dari media tersebut yang diizinkan bekerja di wilayah AS, dari 160 orang menjadi hanya 100.
Sebagai balasannya, pemerintah China mengusir sejumlah jurnalis dari media-media utama Amerika Serikat dan mewajibkan empat organisasi media AS untuk memberikan data rinci terkait aktivitas mereka di China.
Selain itu, pada bulan Mei, Washington menerapkan kebijakan baru yang membatasi pemberian visa bagi mahasiswa pascasarjana asal China yang diduga memiliki keterkaitan dengan militer China.
Masalah Huawei
Perusahaan teknologi asal China, Huawei, dimasukkan ke dalam daftar entitas oleh Departemen Perdagangan Amerika Serikat tahun 2020 karena alasan keamanan nasional. Langkah ini diambil menyusul tuduhan dari pihak Washington bahwa Huawei melanggar sanksi AS terhadap Iran dan berpotensi melakukan spionase terhadap pelanggannya—klaim yang dibantah keras oleh Huawei.
- BNI Perketat Penyaluran Kredit Valas untuk Jaga Kinerja di Tengah Pelemahan Rupiah
- Industri Tembakau Terancam: DPR Tolak Kebijakan Kemasan Penyeragaman Rokok
- Siap Cuan! Hari Ini Peluang Terakhir Raup Dividen BBRI Rp31,4 Triliun
Masuknya ke dalam daftar tersebut membatasi secara signifikan akses Huawei terhadap komponen dan pasokan penting dari mitra bisnis AS.
Pihak Huawei menyatakan tindakan ini merupakan upaya Washington untuk menghambat perkembangan perusahaan, karena menurut mereka, tidak ada perusahaan AS yang mampu menawarkan teknologi setara dengan harga bersaing. Selain itu, Amerika Serikat juga berhasil membujuk sejumlah negara lain untuk ikut memblokir Huawei.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 10 Apr 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 11 Apr 2025