Kenapa Banyak Startup AI Kolaps? Simak Strategi agar Bisa Bertahan
JAKARTA - Arus deras investasi di bidang pengembangan kecerdasan buatan (AI) mendorong lahirnya banyak startup baru. Namun, di balik antusiasme tersebut, daftar kegagalan perusahaan rintisan AI maupun teknologi justru semakin panjang.
Mengacu pada sejumlah kasus di sektor fintech hingga e-commerce, lembaga riset pasar dan analitik bisnis asal New York, CB Insights, menyoroti bahwa banyak startup tumbang karena ekspansi yang terlalu cepat, lemahnya sistem tata kelola, serta kurangnya perhatian pada mitigasi risiko sosial.
Di tengah era AI yang penuh peluang sekaligus ancaman, pertanyaan krusialnya adalah, bagaimana startup bisa bertahan?
Faktor pertama yang paling sering memicu kebangkrutan adalah ekspansi pasar tanpa fondasi finansial kuat. Data menunjukkan 90 persen startup fintech gagal dalam lima tahun pertama karena burn rate tinggi tanpa pendapatan jelas.
Kasus Investree menjadi contoh nyata. Meski sempat menyalurkan pinjaman Rp14,53 triliun, perusahaan akhirnya kolaps akibat tekanan likuiditas dan lonjakan kredit bermasalah (NPL) hingga 16,44 persen. Ekspansi ke Asia Tenggara justru memperbesar biaya operasional tanpa diimbangi manajemen risiko kredit yang memadai.
Baca juga : 7 Tips Praktis Manfaatkan AI di Smartphone untuk Bisnis Online yang Lebih Efisien
Selain itu, kegagalan juga datang dari aspek regulasi. KoinWorks, misalnya, terpaksa menghentikan operasi karena tidak mampu memenuhi ketentuan ekuitas minimal Rp12,5 miliar sesuai aturan OJK.
Dari sisi teknis, startup AI berbasis wrapper, yakni aplikasi yang membangun layanan di atas model pihak ketiga, juga rawan “di-steamroll” atau diambil alih langsung oleh pemilik platform seperti OpenAI. Risiko ini bahkan pernah diperingatkan oleh CEO OpenAI, Sam Altman.
Kesalahan lain adalah minimnya validasi pasar. JD.ID harus menutup layanan setelah ekspansi besar-besaran tanpa menguji kebutuhan konsumen secara matang.
Alih-alih menjadi pemain utama e-commerce, perusahaan berakhir mengalihkan fokus ke logistik lintas negara. Data CB Insights mencatat 70 persen startup gagal karena “no market need”, alias produk yang dibuat tidak menjawab kebutuhan nyata. Kasus serupa juga terjadi pada layanan properti yang gagal beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen digital.
Strategi Bertahan untuk Startup AI
Meski tantangan tampak besar, menurut CB insight ada strategi sustainabilitas yang dapat menjadi pegangan startup AI agar tidak bernasib sama.
Pertama, validasi produk dan unit ekonomi sebelum ekspansi. Meluncurkan produk minimal (minimum viable product) memungkinkan pengujian pasar dengan risiko kecil.
Instagram menjadi contoh sukses, berawal dari layanan lokasi sederhana sebelum akhirnya pivot menjadi aplikasi berbagi foto. Validasi mikro juga penting, keuntungan kecil tetapi konsisten bisa menjadi bukti nyata kebutuhan pasar.
Kedua, kontrol biaya operasional dengan cermat. Pengelolaan beban cloud menjadi krusial karena komputasi AI sangat mahal. Optimalisasi sederhana, seperti menjadwalkan stop/start server non-produktif di AWS, bisa memangkas biaya hingga 70 persen.
Baca juga : Meta AI Ambil Langkah Pertama Menuju Kecerdasan Super
Penggunaan instans hemat energi seperti Graviton2 menurunkan pengeluaran hingga 40 persen. Selain itu, perusahaan perlu menghindari praktik over-hiring dan lebih memilih talenta berpengalaman, sebagaimana dilakukan oleh Anthropic.
Ketiga, fokus pada niche spesifik dan membangun relasi pelanggan. Startup yang menekuni bidang hukum atau kesehatan, misalnya, bisa bertahan karena menguasai pengetahuan domain yang tidak mudah digantikan oleh pemain besar. Relasi personal dengan pelanggan juga penting.
Prinsipnya, jangan hanya mengenal perusahaan, tetapi juga individu yang membeli produk. Hubungan personal inilah yang bisa menciptakan loyalitas.
Keempat, adopsi model kolaborasi manusia-AI secara bertahap. Implementasi ideal dilakukan melalui tiga fase. Pertama, AI mengotomatisasi tugas repetitif. Kedua, AI menjadi rekan digital dalam pengambilan keputusan, Ketiga, AI mengelola alur kerja penuh dengan pengawasan manusia.
Agar transisi mulus, perusahaan perlu berinvestasi pada pelatihan ulang karyawan. Studi menunjukkan 70 persen keterampilan kerja akan berubah pada 2030, dan investasi pelatihan AI literacy dapat meningkatkan produktivitas hingga 43 persen.
Kelima, penerapan governance dan mitigasi risiko yang proaktif. Startup perlu membangun kerangka tata kelola AI yang mencakup audit bias algoritma, kepatuhan regulasi privasi data, serta transparansi proses.
Antisipasi juga harus dilakukan terhadap disrupsi tenaga kerja. Survei global memprediksi 41 persen perusahaan akan melakukan PHK karena otomasi. Startup harus menyiapkan strategi transisi agar tenaga kerja tetap produktif di era AI.
Dari berbagai analisis CB Insight, jelas bahwa sustainabilitas startup AI bergantung pada fokus dan adaptasi. Perusahaan harus menunda ekspansi sampai unit ekonomi terbukti sehat, membangun kolaborasi manusia-AI yang berimbang, serta mengandalkan spesialisasi domain sebagai tameng menghadapi kompetisi raksasa teknologi.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 18 Aug 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 19 Agt 2025