Lingkungan
Rabu, 03 Desember 2025 13:52 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah

JAKARTA - Industri kelapa sawit terus menjadi sektor strategis bagi Indonesia sejak era Orde Baru hingga pemerintahan sekarang. Jika melihat catatan perluasan lahan sawit di setiap periode presiden, terlihat jelas bagaimana sektor ini tumbuh dengan sangat cepat dan menjadi salah satu penopang ekonomi negara, meski di sisi lain juga memunculkan berbagai debat mengenai lingkungan dan tata kelola.
Menurut data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), perluasan lahan sawit terbesar terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sementara itu, di era Joko Widodo, pertumbuhan lahan sawit melambat cukup signifikan karena adanya kebijakan moratorium izin baru.
Pada periode Soeharto (1967–1998), total pembukaan lahan sawit mencapai sekitar 2,9 juta hektare (ha). Hal ini dipicu oleh masuknya investasi besar, modernisasi di sektor perkebunan, serta program transmigrasi yang mempercepat ekspansi lahan di wilayah Sumatra dan Kalimantan.
Industri sawit mulai diperkenalkan sebagai komoditas andalan penghasil devisa, menggantikan ketergantungan pada komoditas lama seperti karet dan kopra.
Pada era transisi BJ Habibie (1998–1999), ekspansi melambat menjadi 284 ribu ha. Sementara pada masa Gus Dur (1999–2001) angka itu turun lebih jauh ke 107 ribu ha. Kondisi ekonomi pasca-krisis 1998 dan fokus pemerintahan terhadap konsolidasi politik menjadi faktor pembatas ekspansi sektor perkebunan.
Baca juga : 8 Fandom K-POP yang Menggalang Dana untuk Bantuan Bencana Sumatra
Sementara itu, pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001–2004) tidak pernah mengeluarkan izin resmi perluasan lahan sawit, mengikuti capaian ayahnya yang juga Presiden pertama RI, Soekarno.
Padahal, periode tersebut dikenal sebagai masa mulai bergairahnya kembali industri perkebunan seiring pemulihan ekonomi. Dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi, Megawati mengungkap alasannya enggan mengeluarkan konsesi lahan untuk sawit.
Mega menyebut sawit sebagai tanaman yang “arogan”. Hal itu karena sawit tak bisa tumbuh layaknya kelapa meski memiliki famili yang sama yakni Palmae. “Dia (sawit) itu sangat manja. Kelapa, sagu, umpama ditanam, sudah tua ditumbuhkan yang baru di sini (di sampingnya) itu bisa. Jadi dinaungi sama yang sudah tua, kalau sawit tidak bisa.”
Menurut Megawati, hal itu menjadi alasan mengapa penanaman sawit membutuhkan lahan yang luas. “Harus ribuan hektare sekali tanam. Harus dibuat klaster-klaster, kalau sudah tua harus dibongkar. Itu yang saya bilang tanaman sawit itu arogan banget,” ujarnya.
Ekspansi lahan sawit yang paling masif justru muncul dari penerus Megawati yakni SBY. Di masa pemerintahannya (2004-2014), SBY memberi izin sawit untuk korporasi mencapai 2,12 juta ha.
Meski luasnya lebih kecil dibanding era Soeharto, konsesi di era SBY lebih masif karena dia hanya butuh waktu 10 tahun untuk mengubah 2 juta hutan menjadi kebun sawit. Artinya, setiap tahun ada sekitar 200 ribu ha hutan yang hilang untuk tanaman monokultur tersebut.
Sementara Soeharto butuh waktu 32 tahun untuk memberikan konsesi 2,9 juta ha hutan untuk sawit. Pada masa SBY, sawit tumbuh menjadi industri raksasa dengan percepatan ekspansi di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Riau. Tingginya harga minyak nabati global dan dorongan biodiesel menjadikan sawit sebagai mesin pertumbuhan baru.
Memasuki era Joko Widodo (2014–2024), ekspansi sawit melambat drastis menjadi 598 ribu hektare, terutama setelah pemerintah mengeluarkan moratorium izin sawit baru pada 2018–2021.
Fokus pemerintah bergeser dari ekspansi ke intensifikasi, peremajaan (replanting), sertifikasi ISPO, dan hilirisasi. Industri sawit tetap besar, tetapi dibarengi dengan pengetatan tata kelola dan pengawasan.
Sementara pada era Prabowo Subianto (2024–sekarang), belum ada laporan resmi mengenai pembukaan lahan sawit baru. Pemerintah baru menyatakan fokus pada ketahanan pangan, energi hijau, dan investasi berkelanjutan, sehingga arah kebijakan sawit masih menunggu periode stabilisasi.
Baca juga : Raih Miliaran Hanya Dalam 3 Jam, Influencer Bantu Pemulihan Banjir Sumatra
1. Produktivitas Tertinggi di Dunia
Tidak ada tanaman penghasil minyak nabati yang sebanding dengan sawit. Satu hektare sawit dapat menghasilkan hingga 4–6 ton minyak per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan kedelai, bunga matahari, atau rapeseed.
2. Pasar Global yang Stabil
Sekitar 70% kebutuhan minyak nabati dunia dipenuhi dari sawit dan turunannya. Indonesia adalah produsen terbesar dengan pangsa lebih dari 50%.
3. Pemanfaatan Multi-guna (Multi-purpose commodity)
Hampir seluruh bagian pohon bisa dimanfaatkan. Produk turunannya lebih dari 200 jenis, antara lain:
Keberagaman produk ini membuat permintaan sawit cenderung stabil dan tahan krisis.
4. Kontribusi Ekonomi Besar
5. Penopang Kebijakan Energi Nasional
Inilah mengapa sawit dianggap “komoditas strategis nasional” meski dampak lingkungannya juga tak bisa dinafikan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 02 Dec 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 03 Des 2025
Bagikan
Lingkungan
sehari yang lalu
karyawan
9 hari yang lalu
industri
10 hari yang lalu