Rojali dan Rohana: Tren Nongkrong di Mal Tanpa Transaksi

Jumat, 25 Juli 2025 23:00 WIB

Penulis:Redaksi Daerah

Editor:Redaksi Daerah

Fenomena 'Rojali' dan 'Rohana': Kisah di Balik Ramainya Mal yang Sepi Transaksi
Fenomena 'Rojali' dan 'Rohana': Kisah di Balik Ramainya Mal yang Sepi Transaksi (Freepik.com/drobotdean)

JAKARTA - Tak sedikit orang yang datang ke mal hanya untuk jalan-jalan, berfoto, melihat-lihat etalase, atau sekadar duduk di food court tanpa membeli apa pun. Fenomena ini kini dikenal dengan istilah populer "Rojali" dan "Rohana", singkatan dari rombongan jarang beli dan rombongan hanya nanya. Dua istilah ini mencerminkan pola baru dalam kebiasaan belanja masyarakat perkotaan—ramai mengunjungi mal, tapi tetap hemat dalam pengeluaran.

Menurut, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, perilaku ini bukan sekadar gaya hidup baru, tapi sinyal penting melemahnya daya beli. 

“Bisa kita lihat dari tingkat tabungan yang mengalami penurunan, tingkat penjualan sektor riil, penjualan barang ritel yang turun di triwulan kedua daripada triwulan satu, serta pinjaman yang meningkat terutama melalui fintech lending, ini yang menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat sebetulnya terbatas dari sisi kemampuan finansial mereka,” jelas Faisal.

Sekadar Cuci Mata, atau Menggambarkan Jumlah PHK?

Hal senada juga diungkapkan oleh Esther Sri Astuti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Ia menegaskan bahwa pelemahan daya beli masyarakat saat ini diperburuk oleh dua faktor utama yang saling berkaitan, yakni gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor industri dan kenaikan harga bahan pokok yang terus melambung.

“Memang saat ini daya beli masyarakat berkurang karena kenaikan jumlah PHK di sejumlah industri. Di sisi lain, ada kenaikan harga harga bahan pokok, penciptaan lapangan pekerjaan dengan meningkatkan investasi yang bersifat padat karya. Kemudian melonggarkan dan mendorong wirausaha agar mereka yang terkena PHK bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,” tambah Esther.

Di sisi lain, perilaku rojali dan rohana juga dipandang sebagai bentuk pelarian dari tekanan hidup. Kondisi ini dinilai perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Esther menyarankan adanya program-program padat karya untuk menciptakan lapangan kerja, serta dukungan kewirausahaan bagi masyarakat yang terdampak PHK. 

Baca Juga : Evaluasi Kualitas Pendidikan, Pemda Siap Dukung Program TKA SMA November 2025

Di tengah diskusi soal fenomena ini, Menteri Perdagangan Budi Santoso punya pandangan lain. Ia menyebut bahwa perilaku rojali dan rohana adalah hal lumrah dalam dunia perdagangan. 

Fenomena rojali dan rohana seolah menjadi simbol zaman, era ketika masyarakat masih ingin menikmati gaya hidup modern, tapi terjebak dalam kenyataan ekonomi yang serba pas-pasan. Mereka hadir, tapi tak mampu memberi kontribusi nyata bagi roda ekonomi ritel. Bagi pelaku usaha, kondisi ini tentu menantang. Tapi bagi masyarakat, ini adalah refleksi dari perjuangan bertahan.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 26 Jul 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 25 Jul 2025