Risiko yang Ditakutkan Terjadi Jika Dwifungsi ABRI Kembali

Senin, 17 Maret 2025 21:02 WIB

Penulis:Redaksi Daerah

Editor:Redaksi Daerah

Menguak Ancaman di Balik Kembalinya Dwifungsi ABRI
Menguak Ancaman di Balik Kembalinya Dwifungsi ABRI

JAKARTA – Baru-baru ini media sosial ramai perbincangan terkait DPR RI dan pemerintah dalam membahas Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bahkan pada 14-16 Maret 2025, mereka mengadakan konsinyering secara tertutup di hotel mewah Jakarta, Fairmont.

Setelah rezim Soeharto tumbang, peran ABRI sebagai kekuatan sosial-politik digudat oleh banyak pihak. Mereka berpendapat bahwa militer seharusnya tidak menduduki jabatan di luar bidang pertahanan dan keamanan, karena posisi tersebut seharusnya menjadi hak kelompok sipil.

Selama pemerintahan Soeharto, ABRI digunakan sebagai alat kekuasaan oleh Presiden Soeharto untuk  melanggengkan kekuasaannya karena karakteristik militer yang tunduk terhadap atasan.

Soeharto menjalankan pemerintahan secara otoriter dengan menggunakan ABRI sebagai tameng untuk menekan pihak-pihak yang dianggap sebagai ancaman terhadap kepemimpinannya. Akibatnya, sistem pemerintahan pada masa itu menjadi tidak transparan bagi publik.

Dwifungsi ABRI atau dikenal dengan Jalan Tengah, merupakan sebuah konsep yang dicetuskan oleh Jenderal AH Nasution dalam peringatan dies natalis Akademi Militer Nasional (AMN) pada 11 November 1958 di Magelang.

Konsep Jalan Tengah berarti ABRI tidak ingin sekadar menjadi alat pemerintahan yang sepenuhnya dikuasai oleh elite sipil. Militer menuntut peran dalam perumusan kebijakan negara. Konsep ini pertama kali diterapkan oleh Presiden Soekarno selama Orde Lama dan kemudian diadopsi kembali oleh Presiden Soeharto pada masa Orde Baru dengan istilah Dwifungsi ABRI.

Dwifungsi ABRI memberikan peran ganda bagi militer, yaitu tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik. Namun, penerapannya di era Orde Baru menyimpang dari gagasan awal AH Nasution. Kebijakan ini justru menyebabkan militer mendominasi berbagai sektor, termasuk birokrasi pemerintahan dan parlemen negara.

Dengan diterapkannya kebijakan Dwifungsi ABRI, ABRI berhasil mendominasi lembaga eksekutif dan legislatif pada masa Orde Baru. Sejak tahun 1970an, banyak perwira aktif ABRI yang diangkat menjadi anggota DPR, MPR, serta DPD di tingkat provinsi. Selain itu, militer juga memegang peran penting dalam mengarahkan kebijakan politik organisasi Golkar.

Penerapan Dwifungsi ABRI berdampak pada berkurangnya peran warga sipil dalam pemerintahan karena dominasi militer di berbagai posisi strategis. Akibatnya, sistem pemerintahan menjadi kurang transparan.

Puncak masa kejayaan Dwifungsi ABRI terjadi pada 1990an, ketika anggota ABRI menduduki jabatan penting di berbagai sektor pemerintahan, mulai dari bupati, wali kota, pemerintahan provinsi, duta besar, pimpinan BUMN, peradilan, hingga menteri dalam kabinet Soeharto.

Keterlibatan militer yang semakin dalam dalam kehidupan sosial dan politik menjadikannya alat kekuasaan rezim untuk membenarkan berbagai kebijakan pemerintah. Konsentrasi kekuasaan di tangan militer juga memicu pelanggaran HAM yang berujung pada berbagai kerusuhan.

Dalam jurnal yang bertajuk Militer dan Kapitalisme Ersatz: Bisnis ABRI pada Masa Orde Baru oleh Julianto Ibrahim, keterlibatan ABRI dalam sektor ekonomi, sebagaimana dianjurkan dalam konsep Dwifungsi ABRI, lebih banyak membawa dampak negatif daripada manfaat bagi rakyat Indonesia.

Menurut Nugroho Pratomo, keterlibatan ABRI dalam ekonomi turut berkontribusi terhadap krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis yang terjadi menunjukkan adanya campur tangan begitu besar dari pemerintah yang sebagian besar berasal dari ABRI.

Campur tangan pemerintah dalam sektor ekonomi telah menghambat semangat kewirausahaan dan persaingan bebas. Selain itu, keterlibatan ABRI dalam dunia bisnis melahirkan militer sebagai kapitalis birokrat.

Kedudukan yang penting dalam birokrasi serta kemudahan akses terhadap sumber daya ekonomi mendorong kelompok kapitalis birokrat militer untuk memanfaatkan pengaruh mereka dengan menawarkan jasa kepada pengusaha swasta, terutama China.

Dalam hal ini, kapitalis birokrat militer tidak lebih sebagai kapitalis komprador atau kapitalis semu yang menjual jasa untuk memburu rente.

Menurut Yoshihara Kunio, kondisi ekonomi semacam ini mencerminkan bentuk kapitalisme ersatz atau kapitalisme semu. Dengan demikian, ABRI memiliki andil besar dalam pertumbuhan kapitalisme semu di Indonesia selama era Orde Baru.

Penghapusan Dwifungsi ABRI pada era Orde Baru hingga munculnya larangan bagi TNI aktif untuk terlibat dalam politik didasarkan pada alasan yang kuat. Dwifungsi ABRI dianggap bermasalah karena berpotensi mengancam demokrasi di Indonesia, yang telah dibangun dengan penuh perjuangan.

Keterlibatan militer dalam ranah sipil dapat membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang dapat merugikan masyarakat luas. Oleh karena itu, sejak era Reformasi, anggota TNI yang ingin terjun ke dunia politik atau terlibat dalam politik praktis diwajibkan untuk pensiun.

Kembali Mencuat

Hampir 27 tahun setelah runtuhnya Orde Baru, kekhawatiran akan kembalinya Dwifungsi ABRI atau Dwifungsi TNI kembali mencuat. Hal ini dipicu oleh rencana revisi UU TNI yang berupaya memperluas jumlah kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh anggota aktif TNI, dari sebelumnya 10 menjadi 16 kementerian/lembaga.

Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, hanya ada 10 kementerian/lembaga yang dapat ditempati oleh anggota TNI, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Sekretariat Militer Presiden, Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara, Badan Siber dan Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Badan SAR Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Dalam proses revisi UU TNI, jumlah jabatan yang dapat diisi oleh prajurit aktif meningkat menjadi 16. Draf revisi tersebut menambahkan lima kementerian/lembaga baru, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung

Selain itu, muncul tambahan satu lembaga lainnya yang dapat ditempati oleh anggota TNI aktif, yakni Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP).

Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin menyatakan penambahan BNPP ke dalam daftar kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif merupakan hasil pembahasan Panja RUU TNI pada Sabtu, 15 Maret 2025 di Jakarta.

“Karena dalam peraturan presiden itu dan dalam pernyataannya, BNPP yang rawan dan berbatasan memang ada penempatan anggota TNI,” ujar Hasanuddin, diberitakan dari Antara. 

Sesuai dengan revisi UU TNI, prajurit aktif yang menduduki jabatan di kementerian atau lembaga negara tidak diwajibkan untuk mengundurkan diri dari dinas kemiliteran.

Sementara, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menepis revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI. Menurutnya, perubahan dalam RUU TNI bertujuan untuk memperkuat institusi, bukan untuk mengembalikan peran ganda militer dalam pemerintahan.

Prasetyo memnita semua pihak untuk lebih cermat dalam memahami substansi revisi yang dilakukan. Ia menekankan agar tidak memperdebatkan hal-hal yang tidak termasuk dalam inti revisi.

“Jadi berkenaan misalnya dengan isu penugasan-penugasan, jangan kemudian dinamai sebagai Dwifungsi ABRI, tidak,” jelas Prasetyo di Kantor Kementerian PANRB, Senin, 17 Maret 2025. 

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 17 Mar 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 17 Mar 2025