Kepala Daerah Sebut FCTC Tak Sesuai Realita di Lapangan, Indonesia Butuh Regulasi Pro-Petani

Senin, 10 November 2025 15:31 WIB

Penulis:Redaksi Daerah

Editor:Redaksi Daerah

Desak Regulasi Berkeadilan, Kepala Daerah Soroti Ketidaksesuaian FCTC dengan Kondisi Nasional
Desak Regulasi Berkeadilan, Kepala Daerah Soroti Ketidaksesuaian FCTC dengan Kondisi Nasional (Trenasia)

JAKARTA – Rencana penerapan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ke dalam kebijakan nasional mendapat penolakan dari sejumlah kepala daerah. Mereka berpendapat bahwa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan realitas sosial dan ekonomi Indonesia, serta dapat berdampak negatif bagi jutaan masyarakat yang bergantung pada sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) untuk mencari nafkah.

Kekhawatiran ini muncul karena FCTC dinilai dapat mengganggu perekonomian daerah, terutama di wilayah penghasil tembakau seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain berdampak pada petani, kebijakan ini juga mengancam keberlangsungan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta pekerja sektor padat karya.

Bupati Temanggung, Agus Setyawan, menyoroti dampak regulasi yang terlalu ketat seperti PP Nomor 28 Tahun 2024 terhadap ekosistem sosial budaya petani tembakau. Temanggung sendiri merupakan salah satu daerah penghasil tembakau terbesar di Indonesia.

BACA JUGA: Serikat Pekerja Desak Pemerintah Tolak Intervensi Asing dalam PP 28/2024

“Tembakau bukan masalah, tapi solusi bagi ekonomi desa. Kalau regulasi tidak berpihak, maka yang mati bukan hanya petaninya, tapi seluruh ekosistem sosial di bawahnya,” ujar Agus.

Ia menegaskan bahwa tembakau adalah sumber kehidupan bagi banyak desa. Namun, industri ini justru dilemahkan oleh regulasi yang tumpang tindih dan konflik antar kebijakan, yang membuat petani semakin tertekan.

“Petani ingin tetap hidup, bisa menanam, dan memberi kontribusi bagi ekonomi bangsa,” imbuhnya.

Agus juga mengkritisi kebijakan seperti PP 28/2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang dinilai tidak mempertimbangkan nasib petani. Menurutnya, tembakau bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan soal keberlangsungan hidup masyarakat desa.

Sementara itu, Bupati Situbondo, Yusuf Rio Wahyu Prayogo, turut menyuarakan penolakan terhadap FCTC. Situbondo, sebagai penghasil tembakau terbesar ketiga di Jawa Timur, mampu memproduksi hingga 12.000 ton tembakau per tahun. Ia mempertanyakan arah kebijakan pemerintah pusat yang dinilai tidak konsisten.

“Posisi negara sebenarnya ada di mana? Apakah negara ingin mendukung industri ini, atau justru ingin menghapusnya? Sikap pemerintah selama ini tidak jelas, seperti dua arah yang berlawanan,” ungkap Yusuf.

Yusuf menekankan bahwa industri tembakau memiliki peran penting dalam menciptakan lapangan kerja dan mendukung penerimaan daerah. Jika industri ini diperkuat, pembangunan daerah diyakini akan meningkat.

“Tembakau bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi juga bagian dari sumber penghidupan jutaan rakyat. Faktanya, ketika pembatasan diperketat, konsumsi rokok juga tidak menurun secara signifikan,” pungkasnya.