Kemendikbud Sebut Seleksi Buku Pelajaran Sangat Ketat Wajib Ikuti Undang-Undang

Kamis, 15 April 2021 16:08 WIB

Penulis:Kusumawati

IMG_20210415_160918.jpg
undefined

JAKARTA (Soloaja.co) – Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan bahwa seleksi dan proses penerbitan buku pelajaran yang akan menjadi acuan jutaan anak didik di Indonesia sangat ketat. Seluruh buku yang beredar telah melewati proses panjang dan detail

Maman Fathurrahman, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud, menjelaskan buku yang masuk dalam satuan pendidikan harus melewati penilaian kelayakan sesuai prosedur baku yang telah berlaku. “Sudah ada undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur. Jadi, yang pertama jelas ada sebuah prosedur bahwa buku tersebut dinilai layak atau tidak,” ungkap Maman dalam rilis yang diterima Soloaja.co, Kamis 15 April 2021.

Maman menambahkan, buku yang beredar di satuan pendidikan, termasuk yang akan dibeli menggunakan dana bantuan operasional sekolah (BOS) harus sudah dinilai dan dinyatakan layak oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan. 

Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2016, buku yang digunakan tidak mengandung unsur pornografi, paham ekstremisme, radikalisme, kekerasan, SARA, gender, dan tidak mengandung nilai penyimpangan lainnya. 

Ia pun menegaskan Kemendikbud terus melakukan pembinaan pelaku perbukuan seperti penerbit, penulis, hingga editor untuk mengurangi ketidaktepatan yang pernah terjadi agar tidak terulang kembali. Setiap tahun, atau sebulan sekali bahkan sebulan dua kali di tahun 2021 pusat kurikulum dan perbukuan melibatkan masyarakat untuk merekrut para penilai yang memiliki kapasitas, kesanggupan, dan memenuhi syarat untuk melakukan penilaian kelayakan buku teks atau non-teks yang akan digunakan satuan pendidikan. 

Hal senada disampaikan Doni Koesoema, Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Menurutnya, buku dengan jenis apapun, khususnya yang akan dipelajari seluruh anak Indonesia harus memperhatikan berbagai macam dimensi. Selain tampilan, cetakan, keterbacaan, kebenaran isi, kemudian juga ideologi yang memungkinkan untuk jadi bermasalah.

“Indikator-indikator yang dipakai untuk menilai kelayakan buku pendidikan di Indonesia harus mencerminkan nilai-nilai pancasila dan kebhinekaan. Itu wajib hukumnya. Maka di buku yang sudah direview harus ditulis reviewernya,” tambahnya

Doni menyampaikan reviewer buku harus orang yang memiliki integritas dan ketelitian. Dengan demikian, tidak memungkinkan adanya buku pelajaran yang mengarah ke intoleransi, radikalisme, atau diskriminasi. 

“Jadi buku-buku wajib itu memang harus direview Kemendikbud sebelum diterbitkan dan diedarkan ke sekolah,” ungkap Doni.

Ihwal ketatnya seleksi konten buku juga diakui oleh para penulis dari penerbit PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Penerbit yang sudah berdiri lebih dari enam dekade ini telah menetapkan standar tinggi dalam proses produksi buku-buku pelajaran yang diterbitkannya. “Aturannya ketat dan jelas,” ungkap Prof. Djatmika, penulis buku Bahasa Inggris SD. 

Hal senada juga disampaikan Supardjo, penulis buku Matematika dan Sugiyanto, penulis buku Geografi. Menurut mereka, untuk menjadi penulis, ia harus memperoleh sertifikasi dari pemerintah. Penulis juga dituntut untuk terus meningkatkan kapasitasnya agar konten yang disajikan mudah dipahami oleh siswa. 

Buku-buku pendidikan yang diterbitkan Tiga Serangkai telah mewarnai hampir seluruh sekolah, mulai tingkat SD, SMP, SMU dan sederajat di seluruh Indonesia. Ada dukungan lebih dari 3.300 penulis aktif dan editor yang sudah tersertifikasi nasional oleh pemerintah dengan berbagai latar belakang pendidikan dan keilmuan, mulai penulis bergelar S1, S2, S3 hingga yang bergelar profesor.

"Ilmu pengetahuan akan terus berkembang, demikian juga dengan buku-buku pelajaran. Sebagai penulis kami punya tanggungjawab agar buku-buku yang diterbitkan membuat siswa semakin mudah memahami materinya. Inilah yang perlu dipahami tentang betapa penting dan strategisnya posisi penulis," jelas Supardjo, mantan kepala sekolah yang telah pensiun dari penulis Tiga Serangkai sejak 2010.